Aku bertanya kau para wanita pengemban mahasiswi untuk kali pertama. Apa reaksimu jika ‘cowok kampus’ terkenal itu muncul di persimpangan jalanmu? Cowok yang terkenal dengan otak encernya dan ke mana-mana tak pernah luput dari gandengan dosen-dosen yang lama lapuk dengan gelar S3 bahkan jauh di atas gelar itu. Sesuatu sekali, bukan?
Ah, walaupun aku bukanlah mahasiswi untuk kali pertama tapi, rasanya pun juga sama jika aku harus bertemu sosok (laki-laki) salah satu pengemban ilmu yang dikenal di mana-mana itu! Hingga, dosen saja menyimpan rapat nomor ponselnya.
Ada kebanggaan tersendiri jika, aku berhasil menggaetnya karena ingin kuserap semua ilmu jeniusnya itu. Asal saja kepintarannya tidak melahirkan dia sebagai seorang yang egois dan pelit pengetahuan. Aku suka sekali bangku perpus paling pojok. Dalih-dalih agar anak pacaran tak mengambil kesempatan bangku itu hanya untuk menyongsong sepi dan tenang suasana berbisik kasih. Bangku paling pojok membuat aku lebih fokus menyerap sari ilmu di sana. Dibandingkan aku berada di tengah ruangan dan menjadi sorotan banyak manusia atau mungkin aku yang tergoda dengan lalu lalang sang manusia dari berbagai penjuru. Barangkali, di kantin kampus mereka ‘sang penjinak merpati’ ini tak kebagian bangku kosong. Wajar saja kalau menghabiskan jatah di perpus. Hal itu sedikit mengesalkan buatku. Namun, kesal itu hilang seketika setelah tujuh hari terakhir aku tergoda dengan tampang ‘cool’ selebritis kampus yang selalu ada juga di pojok ujung tepat barisan bangkuku. Laki-laki itu yang membuat aku menjadi semangat pagi-pagi mangkal di sana.
Aku dendam, kawan! Sangat dendam sekali padanya! Dia tak pernah sadar bahwa aku rival dia. Kalau bukan karena dosen penuh uban dengan kacamata tebalnya yang lulusan Rusia itu menyuruh aku menghubungi pria sedingin es itu, aku tak akan sudi. Bayangkan! Sembilan belas kali SMS-ku di ponselnya tak pernah satu pun dia tanggapi. Dan sebelas kali Miss Call-ku tanpa sekali saja diterimanya. Ya, saat itu kawan! Dendamku makin memuncak dengan rasa tak berdosanya, duduk tenang dan lagi-lagi buku setebal langit itu dibolak-baliknya. Itu kesempatanku untuk bercakap dengan dia setelah sepekan ini tak ada gayung bersambut, panggilanku diremehkan.
“Hai!” Aku sedikit membanting buku tebalku yang tak kalah dengannya. Aku duduk tepat di sebelahnya. Tidak ada celah bangku kosong sama sekali di antara kami.
“Kau suruhan Pak Joseph, ‘kan? Ada apa?” Dengan ketus. Lirikan yang tak pernah lepas dari baris buku dan bibir bak terekat lem tikus hingga, untuk senyum saja susah walau dipaksakan.
Apa! Suruhan? Dia bilang aku suruhan? Aku cuma kalah tingkat saja dengan dia. Tampaknya dia tak mengerti bagaimana cara membahasakan orang lain dengan santun.
“Ya, atau apalah! Suka-suka kamu! Seenak udelmu saja mau seperti apa!” Jawabku.
Kalau bukan karena nama Pak Joseph si dosen jenius nyeleneh itu aku tak rugi jikalau tidak berteman dengan Danil. Ya itu, itu nama dia! Aku tak perlu terlalu cemas, dia tak akan mungkin membaca sekelumit tulisan seperti ini, kawan. Atau blog-blog-mu yang lain di sana. Buku yang sudah buyutan dengan tebal selangit itu lebih menjadi pilihannya. Daripada bacaan seperti ini yang dianggapnya ecek-ecek. Itulah saat kali pertama aku berhasil sangat dekat dengan sosok yang selalu jadi bahan bisikan cewek kampus.
“Aku pulang dulu.” Pamitku tergesa.
Aku berpikir sia-sia saja. Tak akan bisa kami mengobrol dengan nyaman yang bagiku mata itu tak pernah tertuju padaku saat bercakap.
“Hai, tunggu! Esya!”
Aku menoleh begitu sapaan namaku diperdendangkan dengan asing di telingaku. Layaknya musik pop yang kemudian jadi dangdut atau sebaliknya.
“Tunggu!” Pintanya sambil berbisik dari kejauhan padaku.
“Sampai besok!” Balasku dengan gerak bibir jelas.
Hari keberhasilan kecilku bisa menatap wajah itu dari dekat tapi, tak patut untuk dirayakan.
***
Hari ini setelah kemarin. Aku memasuki ruangan yang menjadi kecintaanku lebih awal hanya untuk berburu bangku pojok dan menyelesaikan tugas-tugas kampusku seperti biasanya. Surya mulai tak sungkan lagi bermain-main dengan seriusku kala itu.
Aroma maskulin tercium segar sedikit mengacaukan pikiranku beberapa menit kemudian. Maklum saja, mungkin parfume ruangan perpus ini sedikit lebih murah sampai-sampai tak begitu menyengat. Tepat di sebelah kiriku bangku itu tak lagi kosong. Hanya jeda satu bangku saja dariku. Ya, dia yang membawa aroma segar itu.
“Wow, bacaan yang bermutu…’Pasangan Seindah Impian’.” Suara setengah berbisik yang dengan cepat bersinggah di cuping kiriku tiba-tiba. “Esya!” Lanjutnya.
“Ah, kamu! Ngapain?” Jawabku sinis. Maklum, kadang jiwa dendamku muncul sewaktu-waktu. “Kenapa, sih! Kamu enggak harus juga manggil namaku seperti itu. Kurang enak saja dengarnya.” Lanjutku pula.
“Lho, lha dosen yang kasih namamu itu ke aku. Yang penting itu bagian dari namamu! Memangnya kalau ganti panggilan ganti makna gitu?” Danil seraya cekikikan dengan tanyanya.
“Ya tapi, males saja dipanggil begitu!”
“Kamu ini masalah panggilan saja sewot amat.” Danil masih dengan cekikikannya padaku.
Selanjutnya, berganti keheningan seketika itu. Danil berpindah bangku seperti biasanya, sangat jauh dari bangkuku. Tampaknya, dia juga mempunyai tempat favourite-nya sendiri. Tidak berubah! Bangku pojok agak jauh dari sisi depanku. Dia hanya menyapaku jika boleh kusebut ‘sedang bolong udelnya’ saja! Selebihnya itu dia angkuh. Dan hal tersebut sudah berjalan selama dua pekan ini.
Akhir-akhir, Danil tampaknya lebih serius dengan perpustakaan dan bahan bacaannya. Daripada perintah-perintah Pak Joseph untuk kami berdiskusi tentang sesuatu hal. Sangat berubah! Biasanya, dia yang paling gemar jika nama dosen kesayangannya itu disebut.
***
Hari ini hampir memasuki genap sebulan Danil dan aku jarang berkontak. Sesekali saja dia menatapku dan menganggukkan kepalanya, kemudian aku membalasnya dan selesai. Menambah penasaranku saja, sedang bergelut dengan apa dia di bangku pojok sana. Jarang sekali kerut dahinya berlapis keras kala membaca sesuatu. Karena Danil orang jenius bagiku, tak butuh pemahaman lebih dari beberapa detik setelah dia membaca sesuatu. Tapi, kali ini. Entah!
Keesokan harinya aku menyengaja untuk datang dengan jam karet ke perpus. Agar Danil tak melihatku terlebih dulu seperti hari-hari biasanya. Aku berjalan mengendap agar dia tak curiga aku sedang mengintai di belakangnya di saat aku sudah selesai dengan kegiatan bacaku.
“Hai!” Sapaku beriringan dengan lenganku yang menggoyangkan lengannya kala membaca sesuatu.
Danil tak langsung membalas sapaanku. Dia gugup bergegas membereskan bahan bacaan yang ditutupinya dengan buku filsafat beraspek ontology.
“Danil, kamu kok pucet! Sakit, ya? Kurang tidur kali…” Celotehku. “Baca apaan, sih!” Sambil aku memelototi buku yang ada di sentuhan jemarinya.
“Enggak penting!” Angkuhnya.
“Danil, sepertinya kita tak mampu menjadi partner yang solid, deh! Kita punya kesibukan masing-masing juga.” Kali itu aku berbisik lembut bersebelahan dengan Danil. Aku membereskan buku-buku dalam tas seraya tak berhenti melirikkan mataku akan penasaran dengan sesuatu hal di balik buku filsafat tingkat tinggi itu.
“Kamu mau langsung pulang lagi?” Tanya Danil menahan tanganku.
“Iya.” Jawabku singkat beranjak berdiri.
“Esya, jangan!”
“Kenapa, Nil?” Sahutku.
“Aku ini orang yang tak bertuhan!” Dengan berbisik lantang.
“Apa?” Aku memalingkan wajahku kembali menatap Danil.
“Duduklah dekat aku dulu. Apa aku harus mengulangi pernyataanku? Aku orang yang tak bertuhan!” Danil mengulang untuk kali kedua padaku.
Aku mengernyitkan dahiku dan memandang mata Danil dalam-dalam kala itu. Aku tidak mampu berkomentar dengan pengakuannya padaku.
“Teman-teman kita mengetahui hal ini?” Tanyaku.
“Enggak! Baru kamu wanita pertama yang mengetahui tentang hal ini.” Dengan nada gugup padaku.
“Maaf, Danil. Baru kamu temanku satu-satunya yang membuat pernyataan bahwa kamu tidak bertuhan.” Keluhku.
“Sya, aku juga enggak ngerti! Sejak kecil aku sudah terlahir dalam keluarga yang menyatakan diri mereka tak bertuhan. Bahkan, mereka mengucilkan diri.” Danil sangat antusias dengan kisahnya padaku. Aku mendengarkan dengan saksama kisah dia di masa kecil hingga saat ini. Tanpa melewatkan ingatanku sekelumit pun.
Ternyata, beberapa minggu terakhir ini buku tentang tuntunan shalat itulah yang menyelinap malu bersembunyi di balik ontology.
***
Sejak pengakuannya padaku, aku semakin dekat bersahabat dengan Danil. Banyak hal-hal yang dia pertanyakan tentang religi. Aku tak banyak menjawabnya karena aku bukan religi instan sejak dilahirkan. Namun, aku menciptakan keadaan batinku sendiri untuk semakin religi dengan proses yang sangat panjang dan bertahun-tahun.
Sudah setahun ini Danil mempelajari agama pada seorang ustadz yang juga menjadi sahabatku. Atas keinginannya sendiri. Dan tidak ada lagi bangku pojok perpus yang terpisah antara kubu kami yang berbeda seperti dulu. Aku lebih sering bersama dengannya di deretan bangku yang sama walau kadang egois lebih sering menerpa kami dengan keringnya obrolan. Kami pun masih mampu bersatu saat Pak Joseph membutuhkan bantuan kami sewaktu-waktu dalam mata kuliahnya.
WhatsApp! Zaman sekarang tak jarang orang tidak mengenalnya sama sekali walau tak memilikinya. Di sanalah Danil banyak berulas kisahnya padaku setiap detik setiap waktu. Walau kami berada di meja yang sama. Jari-jemarinya yang bercerita, bukan bibir tipisnya itu. Kami sama-sama tak suka keberisikan saat fokus dengan santapan buku kami masing-masing. Hanya led merah itu sebagai penanda di ponsel yang sengaja kami taruh di atas satu meja yang sama. Kami sangat menikmati keunikan kami sendiri bagaimana berkomunikasi satu sama lain.
***
Ujian Tengah Semester. Untuk kesekian kalinya harus berulang-ulang aku selesaikan. Pagi-pagi sekali aku sudah harus ada di perpus langgananku. Karena ada beberapa hal yang harus kucari di sana. Saat langkah cepatku menuju ke ruang baca raksasa itu aku lempar saja pandangan bebasku ke arah sudut kananku. Berseberangan jauh dengan jalurku. Aku menghentikan langkah pelan dan semakin pelan. Kedatanganku yang aku rasa sudah paling awal ternyata masih didahului oleh Danil. Kali ini dia sedang bersama seorang wanita dengan rambut bercat kemerahan. Tampaknya ada sesuatu yang menyebabkan polemik di antara keduanya. Terlihat dari wajah Danil yang begitu tegang saat bercakap dengan wanita itu. Danil tak sengaja menatapku. Dia baru menyadari bahwa aku menyaksikannya dari jauh. Kuanggukkan saja kepalaku tanda aku bergegas terlebih dahulu. Aku kembali mempercepat langkahku dan menghilang dari pandangan Danil dan si wanita yang aku tak pernah mengenalnya sama sekali itu.
Sepuluh menit kemudian, sosok beraroma segar itu bukan ada di sampingku lagi seperti hari-hari biasanya. Namun, kali ini dia berada tepat satu meja berhadapan denganku.
“Sya!” Sapa paginya padaku.
“Iya, Nil!” Aku membalas sapaannya itu tanpa menatap wajahnya. Namun, aku sangat tahu Danil sedang memandangku dekat.
“Ini untukmu…”
Aku mendongakkan wajahku memandangnya, “Untukku?” Tanpa ekspresi aku memandang Danil yang baru kali ini dia mewarnai pagiku dengan senyuman terindahnya. Tidak seperti biasanya yang lebih apatis. Seperti tulisan WhatsApp-nya yang tanpa emotion sama sekali.
“Iya, ini untuk kamu. Ambil!” Danil memberikan tiga warna berbeda dengan mawar-mawarnya.
“Okay, aku terima. Terima kasih, ya, Nil?”
“Ada merah, putih, pink. Itu kamu banget.” Jelasnya padaku. Aku segera menundukkan pandanganku kembali pada buku epistemology-ku. “Penuh keberanian, kelembutan, keceriaan. Pokok wanita banget!” Lanjut Danil yang masih saja memandangku.
“Iya, terima kasih, Nil!”
“Kamu masih dendam sama aku?” Danil melontarkan pertanyaan masa dulu. Kala kami berproses untuk saling dekat.
“Ah, kamu! Masalah ponsel itu? Enggaklah! Sudahlah…” Seraya aku mengemasi barang-barangku.
“Dan pastinya sekarang kamu mau keluar perpus dan berlalu begitu saja, ‘kan? Selalu itu kebiasaanmu.”
“Tumben, kenapa kamu hari ini beda? Lebih banyak tanya, deh!” Sahutku.
“Eh, aku punya hadiah buat kamu…” Sambil menahan pergelangan tanganku.
“Apalagi, Nil?
Danil tak menjawab lagi tanyaku, “Nanti juga tahu…” Kemudian dia berlalu keluar ruangan tempat biasa kami bercengkerama. Dia mendahuluiku pergi sebelum aku meninggalkan bangkuku.
***
Beberapa hari kemudian. Tahukah kau kawan? Hadiah ini bukan hadiah biasa untukku. Dia mengundangku bertemu dengan sanak keluarganya tepat saat ulang tahunku berlangsung dengan banyak kue dan masakan. Berjam-jam aku dan sanak-sanak itu menghabiskan waktu untuk mengenal satu sama lain. Hingga, ujung dari apa yang aku maksud ‘bukan hadiah biasa’ buatku dari Danil kusaksikan. Dan di sana dia berlaku sebagai Imam dalam shalat jama’ah yang kami lakukan. Bahkan, dia melantunkan ayat-ayat suci itu tanpa cacat sedikit pun. Sanak keluarga itu adalah sisa dari yang bertuhan kecuali, orang tuanya. Begitulah bahasaku menyebutnya.
Aku menangis, kawan. Aku menangis melihat perubahannya yang begitu jauh. Aku berusaha mengingat memoriku setahun yang lalu dia berusaha keras mendalaminya sendiri di perpus itu. Pojok perpus lorong tujuh. Tanpa bimbingan dari siapa pun.
“Tidak bertuhan dan bertuhan itu jurang yang begitu jauh. Dan kamu orang yang membuat jurang itu tak susah untuk aku lalui.” Bisikan Danil dari belakangku mengejutkan seketika itu. Dengan lamunanku tentang setahun lalu.
“Kenapa kau saat dulu mengatakan padaku bahwa kau tak bertuhan?”
“Karena kamu memang yang harus tahu hal itu. Kau pantas tahu…” Danil menjawab dengan mata bening menentramkan hatiku.
“Lantas, siapa wanita berambut merah itu?”
“Dia adikku! Dan darah tak bertuhan masih bertahan di dalam sana.” Danil menundukkan kepalanya.
“Bersabarlah! Ehm…aku harus pulang, Nil.”
“Tunggu! Berjanjilah kau selalu ada mendampingiku saat aku butuh proses memperbaiki hidupku. Agar aku menjadi orang yang sempurna mempunyai Tuhan.”
“Insya Allah, Danil! Insya Allah…”
***
Aku menempati bangku pojok di deretan lorong tujuh, tanpa Danil lagi sejak malam terakhir ulang tahunku itu. Aku bersinggah di bangku Danil ini sejak satu setengah tahun yang lalu. Sekali lagi tanpa Danil, kawan! Aku belajar dan terus belajar giat agar aku cepat lulus dan wisuda. Aku mencontoh bagaimana cara dia belajar dan mendapatkan nilai-nilai terbaiknya. Setiap hari, setiap pagi, aku selalu menyapa buku-buku yang tak pernah dia lewati untuk dibacanya di sini. Sosok yang lebih tua dariku tiga tahun itu tak pernah mau kupanggil Kakak, Mas, Abang ataupun Aa’. Dia pun merangkap asisten dosen terbaik di jurusan kami saat satu setengah tahun lalu. Iya! aku merindukan dia, kawan. Sangat, dan semua harus aku bayar dengan membuka halaman demi halaman yang pernah terjejak dengan jemarinya itu untuk mengobati kepenatan jiwaku akan sosoknya.
Apa! Kau bilang aku jatuh cinta padanya? Ah, entahlah! Aku belum pernah belajar bab itu di usiaku yang kelewat matang. Aku sangat susah menangkap gelagat Danil jika, kusangkut pautkan dalam problema cinta. Seolah bidang filsafat lebih mudah aku pelajari daripada menebak-nebak tentang perasaan Danil padaku.
Saat aku membuka buku kesayangannya di sini aku selalu meneteskan air mataku, kawan! Kau tahu kenapa? Karena aku tak pernah lagi bisa berkomunikasi dengan dia sewaktu-waktu. Aku tidak pernah tahu dia ada di mana setelah lulus kuliah. Bahkan, kerabatnya pun tak pernah tahu pula tentang Danil. Dan contact dia tak pernah lagi bisa aku hubungi.
Aku rindu senyuman dengan gigi rapinya. Aku rindu alis tebalnya dan aku rindu matanya yang bulat terbelalak jika, dia sedang menggodaku hingga aku marah dan jengkel. Kami jarang sekali bersentuhan lengan kala duduk bersama, kawan! Hanya dua kali saja yang sangat jelas aku ingat dan itu pun dalam canda kami. Aku rindu tampang seriusnya setiap kali Pak Joseph memanggilku ke ruangannya. Dosen yang bagiku sangat unik itu selalu mengingatkanku pada sosok Danil. Di antara semua dosen dalam jurusan kami, hanya beliau yang sangat antusias berdiskusi secara bijaksana dengan pandangan-pandangan mahasiswa-mahasiswinya. Di ruangan Pak Joseph itu aku terbiasa datang berdua dengan Danil.
“Hai…” Tepukan tangan di pundak kananku tiba-tiba membuyarkan semua kenangan yang beberapa menit lalu sedang aku rajut. Seorang adik tingkatku ternyata.
“Hai, iya! Kamu…” Aku tersenyum menyambut adik tingkat laki-laki andalanku yang sering aku ajak untuk berdiskusi itu. “Kenapa, Shar?” Tanyaku pada pemilik nama Ashar.
“Kak, ada titipan dari Pak Jos. Besok jam sembilan pagi disuruh ke ruangan beliau.” Sambil dia memainkan ujung halaman buku yang sedang kubaca.
“Oh, iya! Okay! Thank you!” Jawabku singkat. Kembali aku mengalihkan pandanganku ke halaman 357 yang belum juga aku pahami sejak pagi tadi. Hanya sebagai tebeng saja untuk menutupi kerinduanku pada Danil.
“Kak, Kak Danil belum ada kabarnya juga, ya?” Tanya Ashar tiba-tiba membuat aku mengalihkan pandanganku dari bukuku untuk kali kedua.
“Memang kenapa kamu tanya dia sama aku?”
“Enggak apa-apa. Namun, kalian berdua sering sekali bebarengan. Kalau sambung lagi sama Kak Danil kasih tahu aku, ya, kak? Aku ada perlu sama dia tentang filsafat masa depan…” Ashar dengan sok jeniusnya seraya menerawang jendela kaca perpus. Bak sastrawan dengan pikiran kosongnya. Gaya ‘slengekan’ aku menyebutnya. Ya, tapi dia terbilang pandai di antara teman-teman seangkatannya. Anak yang lebih suka menyendiri dan mengartikan dirinya sendiri tanpa orang lain. Inspirasi-inspirasi uniknya yang nyeleneh terkadang membuat aku mampu menarik suatu kesimpulan dalam hidup yang ada dua versi. Ribet atau justru anggap saja hidup itu sederhana. Yaitu : lahir, menikah, beranak dan mati.
“Iya, Shar. Aku akan kabari kamu nanti. Jika, dia sudah mau muncul.” Jawabku.
“Ah, kakak! Bikin males saja jawabnya iya iya iya. Mau ngantin dulu, bye!” Ashar berlalu begitu saja tanpa menoleh lagi padaku. Dengan gaya jeans belelnya, tas usang, jaket bola, sepatu kanvas.
“Iya, Shar…” Jawabku berbisik dengan penekanan.
***
“Danil, kamu di mana? Andai kamu mengerti, serasa aku tak punya kekuatan berdiskusi dengan Pak Joseph jika tanpa kamu…” Debaran hatiku menunggu dosen nyentrik di depan ruangannya teriring kerinduanku pada sosok Danil. Tepat pukul 7.30 pagi aku sudah setia menanti suara sepatu Pak Joseph yang kadang kala membuat aku kangen itu. Bapak yang satu ini selalu setia dengan gaya metroseksualnya. Sepatu yang begitu elegan, mengkilat dan disumbang sedikit heel di bagian belakang. Ah, apa itu bahasa kerennya? Mungkin, kau lebih mengerti. Ya itu, betul sekali. Ditambah ujungnya yang sedikit lancip seperti mulut buaya. Ah, sekali lagi entahlah! Sepatu apa itu namanya.
“Oh, sorry! Sudah nunggu saya lama?” Sibuk dengan tas laptop yang dibawanya seraya membuka pintu ruangan yang baru saja lima menit lalu dibersihkan oleh Bapak tua petugas bersih-bersih kampus. Tepat pukul 8.30 pagi.
“Enggak. Baru saja, Pak.” Jawabku dengan menundukkan kepala. Walau aku bilang baru saja pun Pak Joseph tidak akan tahu jika sebenarnya sejak pukul 07.30 aku sudah alih profesi jadi penjaga pintu ruangannya. Begitulah! Itu kebiasaanku dan Danil, kawan! Harus selalu mendahului sebelum Pak Jos datang terlebih dahulu.
“Masuk Aisya!” Teriak kecilnya dari dalam mempersilakan aku memasuki ruangannya. Ah, nama itu. Aku berharap Danil memanggilku dengan nama kesayanganku itu.
Aku jadi gugup. Pak Joseph terus memandangku aneh. Antara takut dan tak takut. Itu keadaan yang sebenarnya aku rasakan. Dosen satu itu berusia lima puluh tahun. Tapi, kawan! Jangan kau kira beliau itu sudah beranak dan bercucu. Bagaimana hasil itu ada jika, menikah sekali pun saja belum pernah dirayakannya. Tak ada cawan yang terangkat sebelum malam pertama. Tak pernah, kawan! Aku tak terlalu mengikuti perjalanan hidupnya. Namun, sekali percintaan itu pernah terjadi tanpa sampai ke pelaminan. Dan setelahnya hanya pikiran-pikiran idealis saja yang menjadi penerang langkah dosen yang pantas jadi kakek itu.
“Kau Aisya!”
“Iya, Pak…” Rasa was-was sudah mulai melumuti hatiku. Tak mungkin Pak Joseph membahas masalah nilaiku di mata kuliahnya yang tak pernah di bawah AB.
“Saya ini tak punya anak. Kau tahu itu, ‘kan?” Tanyanya sambil membungkukkan badannya mendekati mukaku ini. “Dulu saya sangat membanggakan Danil di angkatan dia. Jadi, wajar kalau sekarang saya menggantungkan harapan padamu agar kau ini mampu mengepakkan sayapmu. Ya, minimal kau bisa mencontoh prestasi Danil, Aisya!” Seraya beliau menyandarkan punggung rentanya itu di kursi kebesarannya.
“Jadi, Bapak juga tak tahu sekarang Danil di mana?” Tanyaku dengan mata berbinar. Ya, meskipun hanya sesaat binar itu berinjak di sana. Jika saat itu memungkinkan berteriak aku akan berteriak sekuat tenagaku. Aku sangat bahagia, kawan! Pak Jos mencoba membahas topik tentang Danil. Aku sudah cerita jauh sebelumnya tentang Danil pada kau, kawan. Bayangkan sendiri saja bagaimana perasaanku. Aku berharap besar Pak Joseph memberiku bocoran tentang kabar Danil. Apa sajalah yang beliau ketahui walaupun itu secuplik.
“Oh, jadi kau ini juga tak tahu?” Pak Joseph seraya membenahi kacamata tebalnya yang sedikit melorot itu.
Aku menggelengkan kepalaku pelan kemudian menundukkannya. Ah, lagi-lagi gelisah ini tak dapat aku tutupi lagi. Aku tidak sanggup lagi menahan rinduku. Apalagi di depan Pak Jos. Beliau sudah seperti Bapak kami sendiri.
“Aisya, Danil dan saya ini sudah seperti Bapak dan anak. Sesekali waktu dia menginap di rumah saya. Dan di sana kami banyak berdiskusi tentang idealisme yang ada di ubun-ubun kami masing-masing. Jadi, semua sisi kehidupannya saya ini tahu.” Pak Joseph berulas senyumnya padaku. “Dan dia cerita mengenai dirinya yang tak bertuhan itu. Kau orang kedua wanita setelah saya yang diberitahunya.” Lanjutnya.
Aku begitu terkejut dengan penuturan dosen sepuh itu. “Jadi, sebetulnya Bapak juga mengetahui tentang satu hal itu?” Aku menajamkan tatapanku pada beliau.
“Iya, saya tahu. Aisyah! Walau saya ini Hindu, tak pernah saya bertutur tentang kepercayaan saya pada dia. Kembali lagi bahwa, kami punya idealisme masing-masing. Itu sebuah pagar yang tak bisa digeser.”
“Iya, saya mengerti, Pak…” Sahutku sopan.
“Danil begitu mengagumimu. Anggap saja dia curhat pada saya sebagai anak…hahahahhaaa…” Pak Joseph tertawa dengan bahaknya. Seolah, kisah aku dan Danil begitu lucu baginya.
Aku menanggapinya dengan sedikit senyuman kecut. “Itu hanya sebatas kagum, Pak…” Sahutku.
“Ah, kau ini! Perkembangan rasa kagum itu fantastik! Aisya, kagum itu tak akan bisa ditebak di akhir cerita.” Seraya beliau tertawa kecil memandangku.
Seperti biasa, setelahnya santai beliau selalu membahas tentang hal-hal di luar mata kuliah kami. Yang masih butuh pembahasan dan rujukan dengan mengacu pada mata kuliah kami. Aduh, pahamilah sendiri maksudku! Sekali lagi aku ulangi, kadang aku ini tak mampu mengimbangi cepatnya otak Pak Jos bila tanpa Danil. Di sesi terakhir, beliau selalu menitipkan tugas untuk kami sekelas guna pertemuan minggu depannya.
“Aisya! Fokuslah! Dan segeralah kau bisa mengambil beasiswa di mana pun yang kau impikan.”
Aku tak menjawab apapun. Hanya senyuman lelahku karena hampir dua jam aku bercengkerama bersama beliau. Dosen satu ini memang harus benar-benar aku akui keunikannya. Pantas saja Danil merasa ada yang kurang jika, sehari saja tak ada komunikasi dengan Pak Joseph. Kelulusan yang hampir menjemputku membuat kesibukanku di kelas jadi banyak jeda. Aku lebih fokus skripsi dan lebih sering dua kali lipat ke perpus itu. Ah, tak sepenuhnya juga kelulusan yang menjemputku. Bahkan, aku yang kerja keras menjemputnya karena aku sudah bosan dengan bangku kuliah. Begitulah! Tepatnya usahaku bersambut dengan nasib baik.
***
Perpustakaan, pukul 09.00 pagi.
Kembali lagi aku harus bergumul dengan buku-bukuku di sana. Tugas-tugas dan semua. Hari ini menjadi hari terburukku. Rencanaku berantakan tidak seperti biasa-biasanya. Semua tertunda hanya karena aku digoda oleh kerinduan pada Danil yang tak pernah bersambut. Sejak pertemuanku dengan Pak Joseph sepekan yang lalu.
“Mbak Aisya…” Sapa Mbak Rini petugas perpus yang sudah sangat hafal dengan rutinitasku.
“Iya, mbak…” Aku menghampirinya dengan sedikit terburu.
“Maaf, mbak. Deretan bangku sana sedang ada dosen-dosen. Mbak Aisya bisa pindah di sebelah sana. Buku-buku yang biasa mbak baca juga sudah dipersiapkan di sana, mbak.” Jelasnya padaku sambil mulutnya tersumpal sesuatu makanan di dalamnya. Entah, itu sudah menjadi kebiasaan buruknya yang menurutku kurang sopan. Tapi, bukan masalah bagiku. Sudah, lupakan!
“Oh, iya. Terima kasih…” Sahutku dengan cepat menarik tubuhku ini sesegera melibas waktu yang lumayan terbuang sia-sia beberapa saat lalu.
Kali ini aku kembali duduk di bangku semulaku sendiri. Bangku pojok tempatku pertama kali jika bersambang ke perpus. Bukan bangku pojok lorong tujuh kebiasaan Danil menyendiri dengan buku lapuknya itu. Pak Joseph, beliau ada di sana bersama dosen-dosen yang lain. Aku tak ada waktu untuk menebak-nebak ada sesuatu apakah. Tepat di bangku pojokku, buku-buku yang menjadi tanggunganku untuk kubaca sudah tersaji di sana dengan bertumpuk rapi. Mbak Rini memang petugas yang istimewa hingga, sangat hafal buku apa saja yang biasa aku peluk erat. Aku tak ingin berpikir panjang. Fokusku untuk serius sudah tak tahan lagi karena dorongan nafsu apatisku yang tak mengindahkan sekelilingku. Aku mulai membuka buku pertama, tepat di halaman 357 kembali aku pahami. Halaman terakhir sejak pertemuanku dengan Ashar di saat otakku bak otak bebal saja.
Di belahan itu tak lagi kosong, kawan! Ada secarik kertas HVS putih yang terlipat menjadi empat. Bayangan goresan tintanya hingga menembus di balik kertas itu. Pertama aku menganggap barangkali kertas itu digunakan sebagai penanda dari orang lain yang terakhir kali membacanya. Maklumlah, ini bukan perpus nenek moyangku. Ini wilayah umum! Aku buka saja lipatan kertas itu serabutan tanpa gerakan nan lembut. Barangkali bisa aku jadikan buram. Tapi, ternyata itu bukan buram biasa, kawan!
“Esya! Aku kagum dengan semangatmu yang besar untuk cepat lulus. Terima kasih, kamu selalu menjalankan nasihat-nasihatku bagaimana kau harus mensiasati cara belajarmu agar kau cepat memahami. Mengabdilah untuk ilmumu dan segeralah kau gapai impianmu selanjutnya.”
Setelah ejaan itu aku baca satu persatu hingga tuntas. Aku seakan mengatur napasku agar kembali normal, kawan! Aku harus mengatur detakan jantungku agar tak sekencang pacuan kuda. Kau tak akan bisa menebak bagimana perasaanku! Karena aku sendiri masih tak ingin bermain tebak-tebakan dengan sepucuk surat itu. Aku yakin itu Danil. Dari cara dia mengeja namaku hingga membuat aku marah. Itu ciri khas dia. Dan hanya dia yang tahu kegiatanku di dalam ruangan ini. Kami tumbuh bersama dengan idealisme kami masing-masing di sini.
Aku mendongakkan kepalaku dan mengamati sekelilingku. Begitu jeli aku melakukannya, kawan! Masih tampak Pak Joseph di ujung. Dan tak ada yang asing bagiku dalam kerumunan itu. Hingga, mataku ini putus asa karena rasa lelah yang terus mencari dan tak mendapatkan apapun di sana. Aku memantapkan hati dan pikiranku untuk kembali fokus dengan kewajibanku yang lumayan lama dalam beberapa hari sangat berantakan.
Tak terasa hingga jam makan siang bersambut menggugah konsentrasiku karena kerumunan di ujung itu mulai menunjukkan keberisikannya membubarkan perkumpulan mereka. Terutama suara tawa Pak Joseph yang terbahak itu sudah sangat melekat di cupingku ini.
“Nil, kita lanjut di ruangan saja!” Kalimat terakhir Pak Joseph sebelum langkahnya meninggalkan perpus sepenuhnya sangat mencabik-cabik rasaku. Sebutan nama itu pun tak asing lagi kudengar, kawan!
Aku meninggalkan bacaanku dan mengamati sosok yang jauh di ujung pandanganku. Punggung itu memang mirip seperti Danil kala dia menyingkur dariku. Dandanan yang rapi bersama kemeja berwarna kuning-buah-lemon. Tak lama selang beberapa detik dari Pak Jos, laki-laki itu berdiri. Jelas dari samping seperti Danil, yakin sekali aku tak salah walau sedikit ragu. Dirangkul dasi merah-berkembang-putih-cerah seraya menenteng jas berwarna abu-abu yang senada dengan celananya. Aku ingin menyambutnya dengan sapaan namun, mulut ini seperti kikuk. Ada yang janggal dengan pengamatanku saat dia berdiri. Seperti merapikan sesuatu atau apalah itu di lutut sebelah kirinya, kawan! Dia berjalan pelan agak sedikit pincang. Dan samar-samar mulai tegap kembali meskipun tak sempurna. Jantungku ini, jantungku ini masih belum juga tenang mengejar rasa penasaranku. Sedikit tertatih dia berjalan bersama buku-buku yang digendongnya namun, masih tampak terlihat gagah.
Aku mulai lemas berpikir. Walau kepastian rinduku tak bersambut, paling tidak Tuhan memberikan rasa kelegaan dalam hatiku jika, dia sangat baik selama ini. Aku memutuskan untuk ke ruangan Pak Joseph. Paling tidak aku menunggunya saja di dekat sana sampai benar-benar aku memastikan itu Danil.
Aku bergegas beberes barang-barangku dan tugas-tugasku yang masih berantakan saat itu. Aku memacu rinduku yang aku pendam selama setahun setengah terakhir ini. Urusan perasaan menjadi nomor seribu bagiku. Aku tak pernah sebrutal ini dengan sesosok lelaki sebelumnya. Karena keluargaku menuntut padaku seorang pasangan yang setara dalam hal kedalaman agama. Dan aku bertemu dengan Danil yang sebelumnya mengakui dia tak pernah bertuhan. Dia yang tak punya agama apapun. Baginya hidup itu harus selalu berbuat baik dan tidak menyakiti kemudian semua selesai. Tanpa embel-embel nama agama tertentu.
Kursi kayu menuju lorong panjang tempat ruangan para dosen-dosen. Sejenak aku berhenti di sana. Hingga, aku memutuskan nekad saja melangkahkan kakiku terus menyusur di ruangan paling akhir itu. Aku memutuskan untuk memasuki ruangan Pak Joseph dengan dalih mengembalikan buku yang aku pinjam dari beliau sekaligus tugas kelompok beberapa hari lalu. Bagiku itu kesempatan emas. Hanya itu satu-satunya cara sebagai alasanku bisa mengetuk pintu ruangannya. Suara cakap dan tawa Pak Joseph terdengar sampai di balik pintu. Dan itu pertanda beliau tak sendirian di dalam sana, bukan?
“Tok…tok…”
“Iyaaa…masuk-masuk!” Jawaban yang sedikit panjang dan lantang dari Pak Jos.
Dengan mantap aku gerakkan gagang pintu berwarna putih mengkilat itu. Dengan berdebar, gugup dan tak siap dengan jawaban jika banyak tanya dari dosen unik itu ada keperluan apa aku ke sana.
“Aisya…masuk-masuk! Tepat sekali kamu ke sini…ayo masuk-masuk! Sini! Kalian anak-anak saya, ayo masuk-masuk!” Dengan binar bahagianya. Entah, apa yang membuat dosen sepuh itu terlihat begitu riang.
Dan aku tak seriang Pak Jos dengan tawanya yang mudah keluar liar itu. Karena suasana pertemuanku dengan Danil ini bukan suasana yang lucu bagiku. Aku tak salah, kawan! Dia memang Danil. Hanya penampilan yang sangat jauh berbeda dari satu setengah tahun yang lalu. Jadi, aku perlu waktu untuk memantapkan pandanganku akan sosok yang terasa baru pada penglihatanku ini. Kami saling bertatap, seolah suasana yang ada kami kalahkan berdua saat itu hingga menjadi lengang dan senyap.
“Ayooo Aisya, baru kemarin kita omongin Danil, ‘kan? Hahaha…muncul juga sekarang dia…” Sebegitu riangnya Pak Jos dengan kehadiran Danil kembali. Aku bisa merasakannya. Danil yang sudah dianggap anaknya sendiri itu.
“Pak, saya mau mengembalikan buku Bapak yang kemarin saya pinjam. Dan ini tugas anak-anak yang dititipkan ke saya, Pak.” Aku berusaha memotong suasana hatiku sendiri agar tak terfokus dengan banyak tanya akan Danil.
“Oh, iya iya iya…ayo duduk! Kita diskusi ringan dan santai saja…” Ajak Pak Jos padaku.
“Waduh maaf, Pak! Saya ditunggu teman di luar. Minta bantuan tugas. Saya sudah janji sama dia tadi. Mungkin besok, Pak…” Tak ada niat aku mencicip sofa panjang yang juga ada Danil di sana. Tampaknya Danil bisa membaca arti penolakanku pada Pak Jos.
“Oh, ya sudahlah. Silakan…”
“Iya. Terima kasih, Pak. Yuk, Danil! Permisi…” Aku segera berbalik dan keluar ruangan itu dengan sedikit terburu.
Aku terburu dengan langkahku sendiri karena perasaanku yang bercampur aduk, kawan. Aku memutuskan untuk kembali saja ke perpus dan berkegiatan di sana. Itu lebih baik bagiku untuk mendinginkan perasaanku sendiri.
Pukul 15.30…
“Hai! Kenapa kamu harus bohong tadi di sana?” Tetiba suara itu menyelinap dari belakang tengkukku.
Tak lama dari itu geseran kursi tepat di samping kananku berubah dan ada sosok yang menyinggahinya. Aku tak bergeming sedikit pun.
“Auhhh…” Dan sekali lagi aku lihat Danil seperti mengendalikan sesuatu di lutut sebelah kirinya. Aku hanya sedikit meliriknya saja. “Esya! Kamu apa kabar?” Tanya Danil seraya menghantamkan lengan sebelah kirinya itu padaku.
“Kalau aku lagi enggak baik, aku enggak akan di sini…” Seraya aku memasukkan buku-buku dalam tasku.
“Mulai, deh! Kamu mau beres-beres terus ninggalin aku pulang gitu?” Sahutnya.
“Sampai besok, Danil. Ini hampir jam empat sore…”
“Kamu enggak ingin tahu kabar aku misalnya?” Danil masih setia menaruh pandangannya padaku meski dari samping.
“Masih banyak waktu!” Jawabku singkat.
“Esya! Makan bareng, yuk! Aku punya hutang sama kamu ngajak makan bareng, ‘kan?” Berusaha mengambil pandangan dari depan wajahku ini.
“Sudah, lupakan! Itu sudah lama! Kamu ada saja, deh! Aku enggak nagih.”
“Esya, maklum. Aku dulu belum kaya. Duitnya hanya cukup untuk bayar kos. Sekarang sudah lebih-lebih bisa ngajakin kamu makan. Sini! Aku bantuin rapikan bukunya.” Sedikit memaksa mengambil buku-buku tebal yang ada di tanganku kemudian ditaruhnya di rak buku seperti sedia kala. Dan sekali lagi, dia sibuk dengan sesuatu di lutut sebelah kirinya itu. Berjalan sedikit tertatih pada mulanya. Ingin aku bertanya tentang hal itu. Namun, mulutku ini masih susah. “Makan bareng, ya, Sya! ‘Kan, sudah aku bantuin…hehehe…” Lanjutnya dengan canda.
Danil tampaknya merasa jika aku terus memandangi sebelah kakinya.
“Kaki kamu kenapa?” Aku memberanikan diriku untuk mengajukan tanya. Karena hatiku semakin khawatir melihat reaksinya setiap kali bergerak.
“Ah, sudahlah! Nanti aku ceritakan sambil kita jalan…” Jawabnya dengan menahan rasa sakit atau ngilu atau apalah. Terlihat sekali keringat yang mengucur melewati dahi di ruangan ber-AC itu.
“Danil! Kamu ini, jangan buat aku cemas. Mana yang sakit?” Seraya aku jongkok dan memegang sebelah kakinya itu.
“Aduh, nyeri…” Wajah yang sedari tadi banyak tersenyum padaku berubah menjadi meringis menahan sesuatu rasa.
Aku merasakan ada sesuatu benda yang membalut kakinya di balik celana rapinya itu.
“Aku bantu, kamu duduk saja dulu!” Aku mencengkeram erat lengan Danil.
Kami duduk berdampingan. Aku menunggu hingga keadaan Danil lebih baik dulu. Kami membisu dan tak ada saling ungkap sesuatu.
“Nih, kamu minum dulu, Nil! Ayo!” Aku memberikan air putih dari botol tupperwire kesayanganku berwarna hijau-daun-pisang. Danil menerimanya tanpa penolakan. Dia membiarkan air itu melewati kerongkongannya dengan segar hingga, sangat jelas kudengar suaranya.
“Ini! Sisa buat kamu. Terima kasih, ya?” Dia tersenyum seraya mengembalikan botol minumanku. “Okay! Kita jalan sekarang.” Ajak Danil kemudian padaku.
“Aku bantu, Nil!” Kubantu Danil untuk berdiri.
“Tunggu! Perasaan kamu bisa nyetir mobil, ‘kan?” Dahi Danil mengernyit memandangku. “Sudah, bisa enggak? Tak perlu khawatir! Tanpa kopling kok! Aku jamin betismu yang mungil itu enggak bakalan membengkak kayak pemain bola!” Seraya berdiri dengan cekikikan.
“Ah, kamu!” Aku berjalan lebih dulu dari Danil. Meninggalkan dia beberapa langkah saja di belakangku. “Eh, sini-sini! Aku bantu! Sorry, aku enggak se-apatis kamu! Masih punya empati kok.” Aku berbalik kembali menghampiri Danil seraya menuntun lengan atas dari tubuh berjenjang tinggi itu.
Kami berdua melangkah pelan dan penuh canda dalam obrolan, keluar meninggalkan ruangan yang amat bersejarah bagi masa depan kami kelak. Lingkaran tangan yang kubentuk di lengan atasnya disambut hangat oleh Danil. Menahan lenganku pula agar satu sama lain di antara kami tak terlepas. Kawan, aku sangat bahagia. Kerinduan ini yang aku nanti-nantikan selama satu setengah tahun lalu. Tidak seperti biasanya kami akur dalam setiap balas cakap kami. Kembali lagi bahwa, mungkin idealisme di antara kami yang berbeda selama ini. Kami selalu merasa pertemanan ini adalah berisi persaingan dalam prestasi kami. Kami yang sama-sama menjadi anak kesayangan Pak Jos.
“Esya! Kita mampir ke Ibu angkatku dulu, ya? Nanti setelah magrib, baru kita jalan…”
Aku hanya menjawabnya dengan seulas senyuman dan terus berjalan setapak demi setapak bersama Danil.
***
Pizza Hut, 20.00…
“Hahhahaaaaa…kamu bisa saja, deh!” Aku tertawa lepas masih dengan canda dan obrolan di tengah-tengah acara kami.
Aku hanya ingin menghabiskan waktuku untuk membuat Danil terus riang, kawan! Selama ini hanya keangkuhan kami saja yang sok harus menjadi paling super. Kami banyak menanggalkan waktu kami untuk merasa saling nyaman satu sama lain meski pun itu hanya sebatas pertemanan. Banyak kesempatan yang sudah aku sia-siakan. Kami berdua seolah sama-sama sangat memahami isi hati kami sejak bertahun-tahun yang lalu. Dan malam itu adalah sebuah peristiwa yang langsung melekat erat dalam benakku.
“Terus, kapan akan cerita tentang kakimu itu? Sakit apa, Nil?” Aku mulai mengingatkan topik kami yang sempat terputus saat di perpus sore tadi. Seketika itu, Danil berubah muka menjadi murung dan serasa enggan bercerita padaku.
“Kalau semisal tidak saat makan seperti ini apakah kamu masih mau bersabar?” Danil memandangku begitu teduh.
“Oh, iya iya iya…enggak masalah!” Aku mejawabnya dengan senyuman bahagiaku. “Yuk! Kita makan lagi…” Seraya aku tersenyum pada Danil.
Cara makan Danil mungkin sama dengan kebanyakan lelaki pada umumnya. Cepat kilat tanpa menoleh dan berbicara apapun. Waktu makan hanya dinikmatinya hanya untuk makan. Bukan ajang tarung dengan obrolan yang biasanya digunakan untuk kaum muda-mudi dengan istilah P-D-K-T alias ‘pendekatan’ dengan gebetannya. Sok bertanya-tanya dengan seribu wajah perhatian. Tetapi, hal itu tidak terjadi padaku. Aku merasa justru aku yang terlalu perhatian dengan keadaan Danil. Nuraniku tampak mulai lesu tak seperti sedia kala. Sepertinya aku benar-benar hanya menikmati makanku saja dan fokus untuk kegiatan esok ke kampus.
“Kalau waktunya makan itu makan dulu! Berabe kalau tersedak. Kita, ‘kan, bukan manusia sembilan nyawa.” Celetuk Danil tiba-tiba padaku mengerdipkan sebelah matanya.
Aku tersipu-sipu malu dengan canda yang setengah menjatuhkan mentalku itu. Ah, Danil seolah selalu mengerti apa yang sedang aku pikirkan.
***
21.00…
“Kita pisah saja di sini, besok ketemu lagi!” Aku berusaha menolak ajakan Danil yang memaksa mengantarku pulang.
“Kenapa, sih! Kamu mau pulang sendiri? Halah, sudahlah aku antar!” Danil langsung menarik saja pergelangan tanganku dan mengaitkannya di sela-sela kelima jemari kiriku kemudian. “Kenapa, kamu takut sama Bapakmu, ya?” Celotehnya.
“Hmmm…enggak. Enggak kok!” Wajah sendu tak bisa kusembunyikan lagi. Dan Danil tampaknya sudah mengerti gerak-gerik penolakanku.
Duh, Gusti Allah, aku bahagia dia mengantarku sampai rumah. Aku bahagia dia menggenggam erat jemariku. Aku bahagia bersentuhan walau hanya dengan lengannya, aku bahagia bisa menikmati aroma parfum-nya kembali. Aku Bahagia, Gusti!
“Berarti kita tak perlu memaksakan ketemu di kampus lagi, dong! Kalau aku ada waktu senggang aku bisa sewaktu-waktu menjemputmu ke rumah.”
“Memangnya setelah ini kamu ada rencana sering menemuiku di kampus? Kita juga punya tanggung jawab masing-masing, Nil.” Lontarku.
“Toh, dari dulu kita sering barengan di kampus, ‘kan? Bukannya setiap hari di perpus itu hal biasa?” Sanggahnya.
Danil betul sekali. Atau aku saja yang mungkin terlalu berbangga-bangga dengan rasaku sendiri. Bahaya kalau seperti ini terus, bila aku tak mampu menguasai perasaanku bisa-bisa Danil tahu aku sayang sekali sama dia. Hingga, rasa khawatirku yang tertahan padanya bisa terkuak sewaktu-waktu.
“Rumahmu yang mana?” Tanya Danil sontak mengejutkan aku.
“Oh, itu! Sebelah kanan cat putih.” Seraya aku menunjuknya.
“Okay, sampai!” Serunya padaku.
“Danil, sudah! Aku turun sendiri. Bisa!”
“Aku antarkan sampai bertemu Bapak kamu.” Dengan entengnya dia turun dari mobil dan mendekati pagar rumahku.
“Eh…eh…enggak usah! Sudah malem. Nanti Bapak marah.” Aku mulai cemas. Betapa malunya aku jika Bapak sampai murka sama Danil. Begitulah!
“Justru kamu salah jika tidak menghadapkan aku sama Bapak. Aku justru malu bawa anak perempuan malam-malam. Nanti dikira ngapa-ngapain kamu, ih, enggak banget! Sudah, ah! Nanti aku yang bilang. Sudah jam setengah sebelas.” Dengan berjalan sedikit tertatih Danil nekad membuka pintu pagar dan menyusuri halaman yang lumayan panjang untuk sampai di pintu ruang tamu. Sedangkan aku hanya menemaninya dengan dadaku yang mulai tertembus detakan frontal di sana.
“Danil, bentar…” Aku meraih lengannya agar dia menghentikan langkahnya itu.
“Kenapa? Tok…tok…tok…assalamu’alaikum!”
“Ih! Danil, pelan sedikit kenapa, sih! Kenceng banget!” Aku mulai cemberut.
“Iya…iya…iyaaa…pelan!” Sahutnya.
“Danil, kamu baik saja, bukan? Muka kamu mulai pucat lagi sama seperti di perpus tadi! Sakit lagi, ya?” Kali ini aku tak dapat menyembunyikan kecemasanku di depan Danil. Aku benar-benar ketakutan dengan sakit yang dia derita.
Danil tak menjawab apapun dari rasa khawatirku. Tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya begitu saja di kursi yang ada di teras rumah. Keringatnya mulai mengucur kembali di keningnya yang bersih itu.
“Maaf, ini hanya sakit biasa. Nanti lama-lama juga hilang.”
“Kamu habis kecelakaan, Nil? Kamu habis jatuh terus kakimu luka? Patah tulang? Atau apa? Kamu belum cerita setiap aku tanya.”
“Iya, retak tulang biasa…” Jawabnya lirih.
“Coba mana! Aku ingin lihat!” Aku memaksa membuka sedikit dari celana panjang abu-abunya itu.
“Jangan, Esya! Jangan…!” Danil mencengkeram lenganku erat.
Namun, Danil lemah dengan dirinya sendiri dan aku berhasil membuka sedikit celananya itu. Bukan kakinya yang ada di sana, kawan! Tak ada! Aku sungguh terkejut. Yang ada hanyalah kaki palsu. Begitu lama dia mengimami shalat jama’ah kami saat berada di rumah Ibu angkatnya tadi. Karena Danil sibuk dengan sesuatu yang ada di lututnya. Terutama posisi duduknya yang tidak pernah pas bagiku.
“Kenapa kamu enggak cerita sejak tadi, Danil? Kamu hanya menganggap aku sebatas partner mata kuliah saja? Begitu? Kamu menghilang lebih dari setahun pasti karena hal ini, bukan?”
“Iya, betul…” Jawab Danil lemah. “Kok lama, ya? ” Danil berusaha mengalihkan perhatian membuang jauh pandangannya melewati mataku.
“Danil! Jika, kamu terus-menerus mengalihkan arah pembicaraanku, sumpah! Aku enggak akan mau berhubungan sama kamu lagi!” Aku berjalan cepat melewati pintu samping meninggalkan Danil. Sudah kebiasaan Bapak yang pasti sedang sibuk di ruang kerjanya sampai-sampai tak akan mendengar ketukan dengan kepalan tangan sekeras apapun. Dan bibi sering sekali membiarkan pintu samping rumah terbuka menunggu hingga aku benar-benar berada di sana.
“Sya! Tunggu!” Danil terengah dengan teriakannya. Dan aku sama sekali tak menggubrisnya.
***
Empat puluh menit kemudian. Aku mengintip dari jendela kamarku. Sedan hitam mulus itu masih terparkir di sana. Namun, Danil tak ada di teras rumah. Perasaanku semakin was-was. Kaca mobil yang tertutup rapat dan mesin mati tak menyala. Aku paksakan saja menghampiri mobil Danil tanpa perasaan canggung sedikit pun. Keadaan Danil adalah yang utama buatku.
“Kemana, neng?” Tanya bibi yang kelihatan bingung karena kepanikanku juga.
“Bibi, temeni aku! Di dalam mobil itu ada temanku. Aku takut dia kenapa-kenapa!”
“Iya, neng! Iya!” Bibi menggandeng tanganku erat pula karena malam mulai senyap.
“Danil! Danil! Danil, buka!” Tampaknya gebrakan tanganku di jendela mobil itu tak berefek apapun bagi Danil. Danil sungguh lelap di dalam sana tanpa sirkulasi. Miss Call pun tak sampai di gendang telinganya. Matanya tak terbuka sedikit pun. Tak ada cara lain kecuali, Bapak! Ya, aku harus meminta bantuan Bapakku yang terbilang galak jika bersinggungan dengan prinsip-prinsip hidupnya. Aku bergegas berlari ke dalam.
“Aduh, eneng! Tapi, Bapak sudah istirahat, nanti pasti marah.” Bibi dengan nada ketakutannya.
“Ini darurat, bi! Darurat! Sudah biarin saja kalau Bapak mau marah! Masa Bapak enggak punya jiwa kemanusiaan. Bapak pasti masih sibuk dengan tanggungan kerjanya.” Sanggahku seraya terus melangkah cepat ke ruang kerja Bapak.
Dan tebakanku tak meleset. Ketukan pintu tampaknya tak berarti lagi. Yang penting aku harus bergegas. Dan Bapak masih saja berkerut dahi di ruang kerja dengan lampu mewahnya itu.
“Bapak! Tolong temanku di luar sana! Aku takut dia kehabisan oksigen. Bapak, sekali ini tolong temanku!” Aku terus menggenggam erat lengan Bapak hingga Bapak mau beranjak dari kursi empuknya itu.
“Temanmu siapa?” Tanya Bapak.
“Ini temanku laki-laki, Pak! Dia orangnya baik. Ayo, Pak! Cerita sama marahnya nanti saja!” Aku terus menarik Bapak sampai keluar dari ruang kerjanya itu.
Tampaknya tanpa aku bercerita banyak hal, Bapak sudah memahami maksudku setelah aku menunjukkan mobil yang terpakir di depan pagar rumah kami. Bapak pun ikut membangunkan Danil dengan ketukan di jendela beberapa kali. Ah, ini alarm mobil tak bunyi pula. Dan tiba-tiba…
“Danil!” Aku berteriak sambil menangis mendengar pintu mobil itu terbuka pelan. Dan Danil terjatuh dari sana. Bapak segera membopong Danil yang begitu lemas saat itu terus menyusuri jalan dan masuk ke dalam rumah kami. Aku memandang raut wajah Bapak berbeda kali itu. Ada setitik welas asih di sudut mata sepuhnya.
“Pak, tolong temanku. Namanya Danil. Dia cacat entah karena musibah apa. Dia belum bercerita padaku. Dia anak yang baik yang membuat aku terus berprestasi dalam kuliahku. Walau mungkin kurang sempurna di mata Bapak untuk menjadi sahabatku.” Kali pertama aku meneteskan air mata setulus ini di hadapan Bapak. Aku pun tak pernah menduga, sosok Danil mampu mengubah aku menjadi sangat pemberani dengan perasaanku.
“Tampaknya kau begitu menyayanginya…” Sambut Bapak dengan tanya padaku.
“Iya, Pak! Dia laki-laki yang mampu membuat aku berani menghadapi masalah apapun.”
“Dan dia?” Bapak menanyakan kembali inti dari sebuah ujung.
“Aku belum tahu, Pak! Kalau pun perasaan dia tak sama denganku. Paling tidak aku berani mengakuinya secara jujur di depan Bapak. Tolong rahasiakan hal ini dari Danil, Pak. Sekali ini aku ingin Bapak bisa berperan sebagai Ibu bagiku. Karena ini masalah perasaan wanita.” Berperan sebagai Ibu? Iya, kawan! Ibu meninggalkanku sejak aku berusia lima belas tahun. Karena kecelakaaan.
“Adakah yang kau sembunyikan lagi dari Bapak?” Tanya Bapak kembali padaku.
“Iya…” Aku meneteskan air mataku kembali tanpa berani memandang wajah Bapakku.
“Apa itu?”
“Dia berasal dari keluarga kecil yang tak bertuhan.” Aku menjawabnya dengan tegas.
Bapak berubah begitu apatis berdiri dan berjalan meninggalkanku. “Tapi, tidak dengan Danil, Pak! Kecuali, Danil!” Sambungku.
Bapak berbalik arah menghampiriku. Beliau meremas pundakku. Entah! Aku belum paham apa maksud Bapak. “Biar saja Danil bermalam di sini sampai besok pagi. Mungkin dia kelelahan. Sarankan saja untuk ke dokter memeriksakan kakinya itu.” Seraya berlalu dari hadapanku menuju ruang kerjanya kembali.
Aku membiarkan Danil terbaring di sofa lembut kesayangan Bapak. Ada bibi yang menjaganya di sana. Sedangkan aku, sudah tak kuat untuk terus terjaga karena aktivitas yang menguras tenaga dan pikiranku sejak pagi itu.
“Selamat malam, Nil!” Bisikku dalam hati pada lelaki tergagah yang pernah aku temui.
***
“Neng! Neng…” Samar-samar bias sinar surya itu membuat sedikit kabur pandanganku untuk fokus pada wajah bibi pagi itu. Ya, tentu saja itu pertanda bahwa aku masih mengantuk, kawan! “Enggak ke kampus, neng?”
“Iya, bi! Kenapa enggak bangunin aku subuh tadi, bi?”
“Enggak boleh sama Mas Danil. Katanya biarkan saja.” Jawab bibi singkat.
Seketika itu aku langsung membuka mataku dengan semangat dan meyakinkan diri sendiri bahwa aku tidak bermimpi. Danil memang benar-benar menginjakkan kakinya di rumahku. Seakan, di antara kami begitu dekat secara nyata.
“Danil mana?”
“Mas Danil sudah pulang setelah subuh tadi. Malah sarapan bareng sama Bapak sebelum berangkat kantor.” Seraya bibi sambil membereskan baju-baju kotorku yang hendak dicucinya. “Neng! Cepat selesai kuliahnya. Setelah itu Mas Danil bakal nikahin Neng Aisya.” Bibi dengan senyum genitnya padaku.
“Apa? Bibi, ah! Ngacau. Kayak anak ABG!” Ledekku seraya beranjak dari ranjang beberes diri memasuki kamar mandi.
“Iya! Mas Danil sendiri yang tadi bilang ke Bapak! Dia hanya akan mengambil beasiswa ke Luar Negeri kalau dia sudah nikah sama neng. Nanti barengan mau diajak ke sana. Masak Mas Danil ngobrol sama Bapak pakai leluconan.”
Ah, masak juga Danil seberani apa kata bibi. Tampaknya aku harus mengontrol hatiku untuk tidak terlalu bersikap bahagia. Pagi itu hanya perpustakaan dan dosen pembimbing yang menjadi incaranku di dalam jadwal padat seharian.
Seperti rutinitas biasa, kawan! Pojok perpus lorong tujuh sudah bisa aku tempati kembali. Hanya, aku sangat kesiangan hari itu. Aku sedikit berlari kecil dengan tas berat berisi laptop dan buku-buku tebal yang harus aku kembalikan jika tak ingin denda lebih mempersempit dompetku.
“Hai! Pagi, Mbak Aisya! Tumben siangan…” Sapa Mbak Rini yang selalu usil dengan mengunyah makanan. Ah, menyebalkan! Aku menyambut sapaan itu dengan hanya senyuman kecil seraya menyerahkan tiga tumpuk buku-buku yang harus kembali ke rumah aslinya.
Ya Tuhan, betapa bosannya aku terus ditetapkan untuk tidak lulus-lulus dari pemahaman halaman 357! Dan aku menemukan kembali secarik kertas di sana. HVS putih yang kembali terlipat menjadi empat. Aku membukanya pelan, “Kalau kau yang menemukan cacatanku ini, berarti memang kita berjodoh. Aku jemput kau nanti sore di kampus.” Ah, seperti serasa kebetulan saja semua ini terjadi. Seperti putaran film. Apa hanya aku dan Danil yang mencintai buku lapuk itu hingga, jarang orang yang mau menyentuhnya.
Hari itu, kawan! Ya, kepenatan yang berhasil sudah aku lalui. Jadwal yang begitu lancar aku jalankan. Aku menghempaskan sedikit kelegaan hatiku dengan tetesan peluh di bawah rindangnya pepohonan kampus yang menjadi atap rumput hijau untukku berjeda sejenak.
“Selega itukah, sayang?” Tiba-tiba bisikan lembut itu berasal dari balik tubuhku. Mengecup mesra daun telingaku atas suaranya yang tegas dan manja. Aku tak menjawabnya. Namun, bibirku tak kuasa untuk tak tersenyum manja pula menyambutnya.
“Danil…iseng, deh!”
“Terus kamu mau beranjak berdiri dan langsung pulang, begitu? Kau tahu kekuranganku, bukan? Aku tak mampu berlari cepat seperti dulu lagi untuk mengejarmu…” Sambungnya.
“Heheheee…enggaklah! Ngapain juga! Aaahhh…ngrayu, deh!” Seraya aku memutar wajahku ke arah Danil dengan tatapan tajam di sudut matanya.
“Yuk, kita makan!” Ajak Danil sambil mengecup daun telingaku mesra.
Dan aku tak mampu berbalas ucapan apapun, kawan! Kau pasti bisa merasakan apa yang aku rasakan. Dan semua itu tak cukup dengan kata-kata. Kami beranjak bersama-sama. Berjalan menikmati selangkah demi selangkah. Menikmati kehangatan di antara jemari-jemari kami yang saling bertaut erat. Dan sisa kecupan tipis Danil itu adalah kenanganku yang akan aku simpan sebagai rasa terdalam.
“Memangnya, tadi pagi ngobrol apa sama Bapak?” Tanyaku seraya kami melangkah santai menikmati setiap daun yang ikut melambai berunjuk kebahagiaan kami.
“Ada, deh! Aku bersyukur. Jika, bukan karena kakiku yang cacat ini mungkin Bapakmu tidak akan menyetujui pinanganku padamu.” Jawabnya sambil tersenyum manis padaku.
“Memang ada cerita apa dengan kakimu itu?”
“Ah, enggak penting! Sudahlah! Nanti saja di tempat makan.”
“Aaahhh, Danil! Kamu mana mau cerita jika sedang makan! Sebel, deh!”
“Sudahlah! Nanti juga aku pasti cerita…” Seraya Danil melingkarkan lengannya di pundakku. Menjadikan kami serasa makin dekat tak berjarak.
Dan begitulah obrolan kecil demi obrolan kecil yang semakin menautkan hati kami, kawan. Walau mungkin, kata cinta itu belum pernah terucap sekali pun olehku atau Danil. Atau di antara kami tak pernah keluar kata jadian. Namun, kami memaknai semua itu lebih dari sebuah ungkapan cinta dan kata jadian.
Danil begitu gagah membuktikan pada Bapakku bagaimana cara dia mencintaiku dan ingin menjagaku. Aku tidak salah jika, menilai dia sebagai lelaki tergagah bagiku. Dan kekurangan fisik yang ada pada dirinya seolah tak pernah tampak di mataku yang tak mampu menyaksikan seluruh jagad raya ini. Hingga, dia lulus dan berhasil menjamahku dalam balutan ijab qabul.
***
Danil dan Aisya. Kedua sahabat terbaik yang pernah aku punya. Yang mengajarkan kepadaku banyak hal tentang cinta. Bagaimana harus merasakan getaran cinta yang ada sejak awal, bagaimana harus mengelolah cinta supaya tetap terjaga, bagaimana cara mengomunikasikan cinta dan banyak hal tentang cinta yang begitu indah menyelimuti kehidupan mereka berdua meski tak sering terucap. Hanya untuk memperjuangkan Aisya dengan sembunyi-sembunyi, Danil rela kehilangkan salah satu kakinya karena pertengkaran hebat dengan Bapak kandungnya sendiri. Yang menganggap Aisya sudah mengubah Danil untuk berani keluar dari keyakinan tak bertuhannya itu. Adakah seorang Bapak yang tega mencelakai anaknya sendiri karena buta emosi? Menabrak anaknya sendiri dengan sebuah mobil hingga Danil harus kehilangan salah satu bagian kakinya. Padahal, sebagian makhluk mungkin ada yang menyatakan dirinya tak bertuhan namun, masih tersisa rasa kasih sayang di luar sana.
Danil menikah tanpa ada keluarga dekat yang mendampinginya. Hanya Ibu angkatnya seorang yang dengan penuh kasih mengantarkan dia menyelesaikan perintah Allah dan Rasulnya itu. Aku bertemu dengan mereka beberapa pekan lalu. Dengan kehamilan Aisya yang sudah menginjak enam bulan. Kami bercanda, bergumul kehangatan layaknya sebuah keluarga kecil yang bersulang bahagia.
“Rie! Sekarang aku tak bisa disepelekan! Walau hanya punya sebelah kaki, aku mampu menjadi calon Ayah!” Danil yang selalu nyeleneh dengan candaannya. Dan Aisya hanya menyambutnya dengan senyuman manis terbalut gaun berwarna putih tulang. Sesekali tangan Danil mengelus perut istri tercintanya itu dan mengecup kepala Aisya dengan penuh rasa cinta.
“Rie, apa yang kami lalui. Apa yang kami rasakan. Apa yang kami lakukan…tak cukup hanya dibayar dengan sebuah kalimat ‘I Love You’. Mudah-mudahan, kau mampu memahami makna dari sebuah cinta itu sendiri!” Seraya Aisya menggenggam erat jemariku. Tak terasa aku ikut menangis karena haru bercampur bahagia. Di akhir pertemuanku dengan mereka, kami bertiga berpelukan erat. Entah, kenapa aku merasa aku akan berpisah jauh dengan keduanya. Dan firasatku itu sangat tepat. Aisya meninggalkanku untuk mengikuti Danil yang meneruskan cita-cita mengambil beasiswa ke Luar Negeri. Karena itulah, kenapa aura pertemuanku dengan mereka saat itu tak bisa dibilang seratus persen kebahagiaan. Karena perpisahan itulah yang membuatku sedikit terpuruk, kawan! Dan sesungguhnya, aku selesai bersulang untuk merayakan perpisahan itu dengan mereka secara tak langsung.
Mereka berdua ingin agar kau dan aku lebih belajar memaknai cinta yang sebenarnya. Dan itu semua butuh pemahaman dan kepekaan rasa di antaranya.
“Cinta itu, di mana aku tak pernah merasa ada yang kurang dengan Danil yang hanya punya satu kaki.” -Aisya-
“Cinta itu, di mana aku selalu pelan tapi pasti dan secara sembunyi-sembunyi mempertahankan dia bagaimanapun perjuanganku.” -Danil-
*Kisah ini aku persembahkan untuk Danil dan Aisya. Mudah-mudahan, apapun yang kalian perjuangkan penuh ridha sehingga langgeng. Terima kasih atas inspirasi yang pernah kalian lewatkan dalam kehidupanku. Mau bertuhan ataupun tidak bertuhan, bukan area untuk menjadi pembahasan di sini. Namun, intisari dari sebuah hikmah kehidupan yang secara spontan aku ambil. Karena Tuhan itu hanya masing-masing manusia yang mampu merasakan kehadiran-Nya. Biarlah itu menjadi rahasia kita masing-masing. Dan aku menghormati apapun kisah seseorang.
Latest posts by Arie Pudjiarso (see all)
- Si Penjual Jajanan Enak - January 16, 2018
- Semburat Ungu (Bapak Kedua) - January 13, 2018
- Saya Meninggalkan Facebook, Twitter, dan G+ - October 17, 2017