Bekasi, November 2017.
Ujung telunjukku memainkan bibir cangkir kopi yang sudah tinggal seperempat takar. Depot kopi tempatku membuat janji dengan Pak Basri. Depot sederhana bergaya kafe anak muda yang bisa tergolong nyaman diiringi alunan Bengawan Solo remix. Rintik air hujan nan terlempar oleh hempasan angin membuat buram pemandanganku dari balik kaca berukir kembang-kembang melati tepat di samping kiri. Sekali lagi aku cek kembali telepon selulerku. Whatsapp itu berwarna biru muda. “Ya Allah, Bapak ini jadi datang apa tidak …” batinku mulai gelisah. Jangan sampai aku kembali memesan secangkir kopi untuk ketiga kalinya dengan jenis rasa yang berbeda karena perutku sudah mulai mual.
Sepuluh menit kemudian, samar-samar dari jauh aku melihat seorang bapak berpayung putih tulang keluar dari Panther-hijau-Sprite. Aku sangat hafal dari cara beliau berjalan. Aku segera keluar untuk memastikan dugaanku. Dan beliau memang benar Pak Basri.
“Bapak!” Aku berlari menghampiri beliau. Aku bersalaman dan mengesun punggung tangan yang sudah berbeda di dua belas tahun lalu, “Pak … bawa mobil sendirian? Mana Ibu, Pak?” seraya aku menoleh pada kaca mobil untuk memastikan tanyaku, “yuk, kita ke dalam dulu, Pak! Hujannya semakin deras …” aku menuntun langkah lelaki yang tak segagah dua belas tahun lalu.
“Maaf, saya telat lama. Sudah menunggu sejaman, ya?” Pak Basri sedikit menggigil menyenyumiku.
“Enggak apa-apa, Pak Basri. Enggak apa-apa,” aku membantunya duduk, “hati-hati, Pak!” seraya kurapikan syal rajut berwarna krem bersembur hitam di leher Pak Basri dengan lembut. Seketika aku teringat kepada Pak Bripka. Seseorang yang sangat kucintai dan sering membuatku gemas, “ini pasti buatan Ibu, ya, Pak?” aku membelai syal lembut berbahan wool itu.
Pak Basri mulai berkaca-kaca dan seketika air matanya menetes. Beliau sigap mengusap dengan telapak tangannya, “Ibumu sudah tiada delapan bulan lalu, Nak …” sembari mengambil saputangan dari saku celana dan mengelap ingus bening yang mengalir dari lubang hidungnya.
“Bapak jangan bercanda!” seraya aku menarik kursi kayu berukiran jepara itu lebih dekat dengan Pak Basri, “Bapak jangan bercanda …” hingga aku mengulang kalimatku yang kedua kalinya menatap mata Pak Basri.
“Ibumu sudah tiada, Nak!” Pak Basri meyakinkanku seraya menepuk-nepuk pergelangan tanganku mengusap basah sudut mata beliau.
Air bening ini langsung jatuh begitu saja tanpa aku mengedipkan kelopak mataku. Ibu Fina, aku berkenalan dengan beliau tahun 2002 di Jogja saat beliau kehilangan telepon selulernya. Seorang Ibu di tahun itu yang sudah konsisten dengan jilbabnya yang begitu syar’i, anggun, pun senyumnya yang menenangkan. Keibuannya mengajarkan banyak hal untukku. Aku terbawa kembali dalam kenangan lima belas tahun lalu.
“Dik! Kopi Robusta …” panggil Pak Basri pada salah satu pelayan dengan lambaian tangan.
“Pak, jangan kopi! Ada pilihan yang lain,” cegahku seraya memegang bahu yang kurusan itu, “yang lain, ya, Pak?” ulangku.
“Ah, sudahlah! Sesekali saja. Ini kopi kesukaan Ibumu …” sahut beliau dengan santai, “Bapak mengajakmu bertemu di sini karena ini tempat kenangan Bapak bersama Ibumu,” tegas Pak Basri.
“Iya, Pak. Tapi, secangkir saja, ya?” tanyaku cemas.
“Iya … hanya secangkir saja, Nak …” jawab beliau seraya tertawa kecil.
“Kenapa Bapak tidak mengabari saya jika Ibu sudah tiada, Pak?” aku mulai bertanya penuh kekecewaan.
Pak Basri terasa berat untuk bercerita kepadaku. Seketika beliau mengeluarkan telepon selulernya lantas menunjukkan kepadaku detik-detik sebelum Ibu Fina pergi ke Rahmatullah. Namun, belum ada kisah dari Pak Basri yang dituturkan kepadaku atas apa yang terjadi kepada Ibu Fina.
“Nak, kamu masih ingat Masmu Cahyo?” wajah Pak Basri berganti murung mengalihkan pada kenangan yang lain.
“Mas Cahyo? Ya! Saat itu saya masih ada di semester dua dan Mas Cahyo sudah lulus dari sekolah penerbangan …” aku menjawab dengan binar kebahagiaan. Karena Mas Cahyo adalah putra Pak Basri yang paling sumringah di antara dua saudara laki-lakinya yang lain.
Rupanya, percuma hatiku benderang namun ada raut sedih pada garis-garis wajah Pak Basri yang sudah menua itu. Bapak kedua bagiku ini tak segagah dulu saat pertama aku mengenalnya. Bapak yang sudah melewati tujuh puluh lima tahun ini sungguh membuatku tak percaya beliau mampu menjaga kesehatan dirinya sendiri semenjak kepergian belahan hatinya.
“Permisi, silakan! Ada yang mau dipesan lagi, Pak?” pelayan muda yang bersemangat penuh senyuman menghampiri kami tiba-tiba. Membuyarkan apa-apa saja tanya yang mulai aku susun di batok kepalaku.
“Mas, jus kiwi satu, ya?” aku menyenyumi lelaki kuning langsat lesung pipit itu.
“Siap! Ada yang lain lagi, Kak?” sembari membungkukkan sedikit badannya.
“Cukup itu dulu … terima kasih, ya …” balasku seraya memberikan jempol kepadanya.
Aku kembali memerhatikan Pak Basri. Tangan keriput itu sudah mulai bergetar jikalau memegang sesuatu.
“Pak, sini saya bantu!” seraya aku menenangkan tangan Pak Basri yang belum berhenti bergetar itu, “Saya sudah menyarankan, Bapak tadi naik taksi saja atau bawa sopir. Bapak tidak saatnya lagi menyetir mobil, Pak …” aku menegasi.
“Kamu jangan seperti orang lain! Bapak ini masih bisa bawa mobil. Ini hanya dalam kota saja. Apa kamu lebih senang kalau Bapak ini pikun dan benar-benar kelihatan sangat renta?” sahutnya sedikit sensitif, “oh, iya! Apa kamu tak ingin bertemu Mas Cahyo?” tanya beliau seraya menyeruput cairan kopi mengalihkan topik pembicaraanku.
“Iya, Pak. Boleh …” jawabku singkat.
Sekian kali ingatanku kembali pada Pak Bripka. Aku melirik telepon selulerku dan kabarnya pun masih belum aku dapatkan. Kenanganku kepada Pak Bripkaku selalu jauh ke belakang setiap kali air dari langit itu membasahi tanah. Musim dinginnya Indonesia.
“Kak, silakan!” anganku kembali buyar berantakan oleh pelayan murah senyum. Aku membalasnya kembali dengan senyuman dan entah, ini senyuman yang keberapa kali telah aku lemparkan padanya mulai aku menunggu Pak Basri di awal waktu.
Hampir dua jam berlalu, tak terasa gelasku sudah kosong sedangkan Pak Basri masih menikmati keroncong yang mengalun lembut melewati salon bersama sepotong bolu keju yang tersisa di piring persegi bergambar Pavo muticus. Pikiranku benar-benar berantakan, aku hanya bisa menikmati musim dingin tanpa lirik. Kenangan Bu Fina beradu mendatangi saraf otakku dan kecemasanku kepada Pak Bripka yang membuat asthma bronchiale-ku sedikit mulai kambuh.
“Bapak, kita pulang. Kita pulang, yuk! Sudah hampir jam empat, Pak …” ajakku pada Pak Basri, “saya temani Bapak pulang, yuk …” bujukku saat itu karena aku pun mulai merasakan lelah dengan deru batinku.
Pak Basri memandangku kemudian memandang keluar jendela mengarah ke langit-langit dengan berat hati.
“Pak, ayo kita pulang! Besok saya temani Bapak ke sini lagi kalau Bapak masih kurang puas,” aku terus merayunya dengan lembut.
Barulah beliau beranjak bangkit dari kursinya meninggalkan alunan-alunan yang menjadi favoritnya itu.
“Mas!” sembari aku melambaikan tangan pada pelayan guna meminta tagihan.
“Sudah-sudah, Bapak saja …” buru-buru mengeluarkan dompet dari saku celana belakang.
“Pak, sudah! Ayo, kita jalan ke mobil!” aku arahkan ke pintu keluar depot atau kafe, atau apalah nama yang pantas untuk tempat itu.
“Pensiunan Bapak masih cukup kalau untuk begini, Nak!” terus memaksa mengeluarkan dompet kulit cokelat-maroon-nya yang sedikit mulai usang.
“Sudah, yuk kita ke mobil!” seraya aku menuntun Pak Basri dan membereskan tagihan.
Kawan, kalian mungkin akan memahami ini. Yang dahulu kuat-muda-perkasa-gagah namun Allah pun tetap akan menggerusnya dengan waktu dan hanya tersisa tua. Hanya ketulusan cintalah yang menjinakkan para kekasih agar usia itu serasa lebih lama dan hanya ketulusan cinta para kekasih yang seakan-akan membuat raga ini tidak pernah menua. Tuhan begitu Agung, lembut dan halus memberikan balasan atas ketulusan-ketulusan pada hamba-Nya. Sama seperti Pak Basri. Meski roh itu telah sampai di kerongkongan, namun tetap saja bagi beliau Bu Fina orang yang tercantik di hatinya. Rasa yang tidak pernah berubah sejak pertama kali bertemu Bu Fina di kampus beberapa puluh tahun silam di masa bergejolak. Itulah Pak Basri yang senantiasa merasa muda dan penuh cinta.
“Ayo, anak cantik … silakan!” Pak Basri justru membukakan pintu mobil untukku dengan percaya dirinya menampakkan kegagahan. Pak Basri, seorang Bapak yang sudah sepuh namun tak pernah mau menerima akan kenyataan itu. Tak pernah mau menerima bahwa beliau tak lagi muda.
Pak Basri sangat senang aku menunjukkan kepercayaanku mengakui kemampuan beliau yang masih tegas menyetir mobil. Memang harus sedikit bersabar dalam perjalanan kami. Jarak tempuh yang biasanya dalam waktu sejaman ini hampir dua jam. Benar-benar kami menikmati setiap jengkal aspal-aspal yang mulai keropos menunjukkan kemarahannya tanpa merasa dirawat. Hujan itu semakin deras tak beraturan seolah jadi berkah terbesar agar manusia semangat berdoa. Bukankah hujan adalah tiket emas untuk pengabulan doa yang acap kali dilupakan manusia-manusia penuh keangkuhan? Dan hidungku mulai buntu, kebingungan mencari Vicks dalam tasku. Bisa jadi semacam selesma.
“Enggak bawa masker, ya?” tanya Pak Basri yang sudah mengenal kelemahan fisikku.
“Iya, Pak. Kelupaan …” jawabku.
“Apa perlu mampir dulu ke apotik?” Pak Basri mulai memelankan lagi laju mobil.
“Enggak, Pak. Enggak usah! Cepat sampai rumah saja. Minum yang hangat-hangat pasti sudah enakan …” aku meyakinkan beliau bahwa aku baik, “Pak, nanti saya naik taksi saja pulangnya dari rumah Bapak. Bapak istirahat di rumah, ya?”
“Itu gampanglah …” dan beliau sibuk menyanyi bersahutan dengan radio. Seperti biasa, tembang-tembang lawas Broery Marantika-Mengapa Harus Jumpa kala itu sedang membuat Pak Basri terlena akan kenangan indah.
Dan aku pun ikut menikmati lirik-lirik itu di bawah hujan dalam Panther New Hi-Grade, mobil lawas generasi kedua. “Pak Bripka … kau ada di mana? Pak Bripka …” pikiranku terpecah-pecah kembali, aku gemetar lantaran kecemasanku muncul. Aku meremas-remas jemari tanganku bercampur menahan dingin dari AC mobil. Menanti kabar dari seseorang yang belum kunjung datang.
*******
18.27 WIB.
Kenikmatan di sujud terakhirku dalam magrib. Kekhusyukanku hampir terganggu dengan suara jatuhnya sesuatu dari ruang dapur dalam salam terakhir. Mukena Bu Fina ini benar-benar membuatku sangat merindukan sosok beliau. Aku mengamati satu per satu foto-foto yang masih rapi terpasang di dinding kamar. Pak Basri, entah beliau masih usia berapa saat itu. Tampak gagah dengan seragam Polisinya. Foto hitam putih itu benar-benar membawa nuansa penuh makna pada masa kejayaan beliau.
“Nak! Bapak bikinkan teh jahe untukmu. Segera minumlah!” seraya beliau berkisik mengintip dari balik pintu.
Aku bergegas melepas mukena yang masih aku pakai dan keluar kamar. Ada seseorang di kursi roda saat itu. Atau aku saja yang salah lihat. Hanya tampak dari belakang sedang membuat sesuatu di dapur. Aku penasaran dan semakin ingin mendekatinya. Tiba-tiba, Pak Basri mengode aku dari kejauhan agar aku tidak mengganggu. Namun, keduluan seseorang di kursi roda itu berbalik memandangku dengan tajam.
“Mas Cahyo! Mas Cahyo, kan?” aku sungguh kaget melihatnya hingga ujung kaki.
Mas Cahyo tidak berkata apa pun. Hanya menunduk seraya menuangkan sesuatu di gelas. Dan Pak Basri pergi dengan murung meninggalkan kami. Aku jadi serba salah bagaimana harus menyapa Mas Cahyo. Aku pun tidak pernah tahu kabar atas apa-apa yang telah terjadi pada keluarga keduaku ini. Seakan semua kabar dipendam dalam kenangan mereka sendiri.
“Bisa membantuku menaruh ini di meja makan?” perintah Mas Cahyo dengan lirih.
“Iya, Mas. Iya …” aku bergegas menaruhnya di baki, “Apalagi, Mas?” lanjutku.
“Sudah! Semua sudah siap di meja makan,” jawab Mas Cahyo singkat, “minta tolong panggil Bapak untuk makan bersama,” seraya penuh tenaga memutar lingkaran besi yang terhubung dengan kursi roda agar bisa berjalan.
“Aku bantu, Mas …” aku hendak bergegas menghampiri Mas Cahyo.
“Jangan! Jangan! Enggak usah, aku sudah terbiasa sehari-hari begini …” tolaknya dengan halus.
“Iya, Mas. Iya! Maafkan aku …” aku memilih untuk meninggalkan Mas Cahyo dan menghampiri Pak Basri di teras samping rumah bertingkat tiga itu.
“Pak … masuk, yuk! Kita makan dulu. Mas Cahyo sudah menunggu di meja makan,” ajakku dengan lembut, “Pak, maafkan saya. Jujur, saya sama sekali bingung dengan apa yang telah terjadi di keluarga ini. Saya memang sudah cukup lama meninggalkan kabar keluarga di sini. Dengan setulus hati saya meminta maaf yang sebesar-besarnya,” sembari aku membelai bahu baju Pak Basri yang sedang menatap hampa ke taman mungil penuh kehijauan bersiram air hujan.
“Ayo, kita makan!” sahut Pak Basri menganggukkan kepala seraya menepuk punggung tanganku.
Aku tersenyum bahagia menggandeng lengan Pak Basri layaknya Bapak kandungku sendiri. Apa yang telah terjadi di keluarga keduaku, biarlah Allah yang menjelaskannya kepadaku di waktu yang lain nanti.
*******
“Sudah, taruh saja di situ. Besok biar Bibi yang cuci piringnya,” suara Mas Cahyo mengagetkanku dari belakang seraya membawa baki penuh gelas
“Awas pecah, Mas. Sini, biar aku saja!” buru-buru aku mengambil baki dari pangkuan Mas Cahyo.
“Aku masih ingat sekali kebiasaanmu. Apakah kau masih hobi memberikan gula di lubang semut?” Mas Cahyo berpindah tempat di samping kiriku dan mulai bisa tertawa kecil daripada pertama kami bertemu di beberapa waktu lalu.
“Hehe … masih, Mas. Itu bukan hobi, tapi kasih sayang kita dengan ciptaan Allah yang lain. Semut tidak pernah salah jika mengambil jatah makanan kita, kan?” aku membalasnya dengan tawa kecil pula.
“Sudah, taruh saja!” perintah Mas Cahyo.
Tanpa memedulikan Mas Cahyo, aku segera membereskan semua peralatan makan hingga bersih dan berharap bisa segera pulang. Jarum di dinding itu sudah menunjukkan pukul 20.10 WIB. Pun mataku ini sudah mulai berat ingin memejam saja rasanya.
*******
“Bapak …! Pak …” Aku beberes diri mengambil tasku dan mencari Pak Basri hendak pamit pulang.
Jawaban tidak aku temukan di sudut ruang makan. Aku melangkah cepat ke ruang keluarga dan ternyata Pak Basri dengan pulas sudah menyandarkan tubuh lemahnya di sofa empuk. Aku pandangi wajah letih menua di sana penuh kerinduan dengan jodohnya. Syal yang senantiasa membungkus lehernya setia dikalungkan penuh cinta. Aku mengambil selimut dari kamar untuk menghangatkan tubuh Bapak keduaku yang kulitnya tampak mulai tipis penuh keriput sebab usia itu. Kulemparkan tatapan ke segala arah mencari Mas Cahyo. Hingga, aku menemukan Mas Cahyo di samping ruang tamu. Teras minimalis bagian dari rumah itu. Aroma dari tanaman perdu suku Rosaceae terbawa oleh hembusan angin basah setelah hujan di lima belas menitan lalu. Tanaman dalam pot mewah kesayangan Bu Fina yang masih terawat indah di sudut teras.
“Mas Cahyo …” sapaku ternyata mengagetkan lelaki bertaut sebelas tahun denganku itu.
“Hai … duduklah di sini!” seraya tangan Mas Cahyo mengisyaratkan di kursi mana aku harus melungguh.
“Aku sangat merindukan Ibu, Rie. Aku merindukan kebiasaannya, aku merindukan suara mengajinya, aku merindukan tangisan Ibu, aku merindukan senyuman Ibu, aku merindukan kesabaran Ibu saat menghadapi ujian, aku merindukan ketabahan Ibu saat Bapak pernah khilaf. Aku sangat merindukan Ibu, Rie …” seraya menatap langit-langit tanpa pelangi di ujung warna gelap, “aku tidak sanggup menghadapi hidup seperti ini tanpa Ibu, Rie.” Suara lelaki gagah itu mulai bergetar menahan tangis sebab kewibawaan.
“Kita semua akan selalu merindukan beliau, Mas Cahyo. Aku, Mas Cahyo, Bapak.” Sembari aku menepuk bahu baju nan tampak masih kekar itu. Segagah burung besi yang dulu pernah diterbangkannya menembus segerombolan awan, “apakah ada yang ingin disampaikan kepadaku?” aku mulai membungkukkan badanku mengarah ke hadapan Mas Cahyo.
“Rie …” Mas Cahyo mulai berani menatapku seakan ada suatu keberanian untuk berkisah dalam napas panjangnya.
“Ya … ada yang ingin disampaikan padaku, Mas?” ulangku meyakinkan.
*******
Kisah Mas Cahyo menjadi hal yang mengejutkan bagiku. Sekian lama kami tidak pernah bertemu. Sekian lama kami menceburkan diri dalam kesibukan dan sekian lama kami bertarung masing-masing dengan penyelesaian masalah kehidupan yang hampir tak pernah absen mendatangi di persimpangan langkah kami. Lelaki yang sudah aku anggap kakak kandungku telah melewati banyak masa sulit dalam hidupnya. Kehancuran karirnya, masa depannya, remuk hatinya yang lebih sakit daripada remuk tulang kakinya. Inilah yang membuat Pak Basri begitu murung melihat anak lelaki gagahnya hancur.
“Di mana anakmu sekarang, Mas? Di mana, Mas?” linangan air mataku tak dapat aku menahannya.
“Aku tidak tahu, Rie. Yanti meninggalkanku begitu saja, dia membawa kedua anak kami,” seraya meremas rambutnya, “apa salahku, Rie? Aku menjaga kesetiaanku dengan sangat baik dan aku berharap besar Yanti adalah wanita seperti Ibuku. Aku menjaga cintaku dengan hati karena Bapak dulu pernah melukai Ibu. Apa salahku, Rie? Apa karena aku sudah cacat?” kali ini air mata sang lanang itu meleleh juga dari pelupuk tanpa malu.
“Mas Cahyo, Mas Cahyo sudah menanam bibit yang baik dalam kehidupanmu. Tidak ada yang salah, Mas. Jika Mas Cahyo tidak pernah mendapatkan ujian ini, Mas pasti tidak akan pernah tahu bagaimana berharganya Ibu dan bagaimana sulitnya mendapatkan istri yang salehah, kan? Tidak ada yang salah dalam dirimu, Mas.” Seperti biasa, aku mulai meremas jemariku karena hatiku pun larut dalam kegugupan.
“Ya, Rie. Bagaimana sulitnya mendapatkan istri yang salehah dan bagaimana sulitnya mendapatkan suami yang saleh,” lanjutnya seraya menatapku kuat-kuat, “aku ingin anakku, Rie. Aku berusaha mendapatkan anakku kembali,” Mas Cahyo tampak jengkel dalam tutur katanya.
“Iya, Mas. Iya, aku bisa merasakannya. Aku mengerti …” aku meremas lengan baju Mas Cahyo serasa ingin menguatkannya.
“Dan kakiku … kakiku ini, Rie …” seraya meremas-remas kuat betisnya.
“Mas Cahyo pasti akan bisa berjalan kembali. Dokter boleh bilang lumpuh, tapi tidak dengan Allah. Tidak dengan Allah!” Aku menegaskan dengan keyakinan.
“Tidak dengan Allah …” ulang Mas Cahyo.
“Iya, Mas. Semua boleh bilang hancur dan lumpuh, tapi tidak dengan Allah …” ulangku sekali lagi.
“Dan perselingkuhan itu, Rie …” Mas Cahyo sesenggukan menangisi nasibnya, “perselingkuhan itu seakan karma orang tuaku …” seraya berkali-kali menggelengkan kepalanya seakan tak percaya niatnya yang tulus berbuah simalakama.
“Husss … sudah, Mas! Sudah! Jangan memperpanjang cerita itu lagi. Sudah, cukup!” tegasku, “pikirkan saja yang indah-indah dengan anak-anak. Bermimpilah yang indah-indah, Mas …”
Dan kami bertatap saling menguatkan …
*******
Aku kembali masuk bersama Mas Cahyo dan tidak aku temui Pak Basri di sofa ruang keluarga lagi.
“Mungkin, Bapak ada di atas …” ujar Mas Cahyo.
“Baiklah! Coba aku lihat di lantai atas sebentar. Aku harus pulang, Mas …” sembari aku membelai lengan baju Mas Cahyo.
Aku setengah berlari ke lantai atas. Dan aku menemukan Pak Basri di lantai tiga, tepat di ruang kerja Bu Fina semasa beliau masih ada. Ruangan 6 x 4 meter persegi itu bisa aku bilang perpustakaan kecil dengan sedikit perabotan.
“Pak …” kusapa Pak Basri yang tak menyadari kedatanganku, “Pak Basri, saya harus pulang. Orang di rumah pasti akan mengkhawatirkan saya …” pungkasku.
Namun, tidak ada penuturan apa pun dari Pak Basri. Beliau tampak sedang sibuk mencari sesuatu di laci almari kaca yang penuh dengan benang-benang rajut berwarna-warni.
“Pak! Saya pamit …” ulangku sembari kupegang tangannya yang gemetar.
“Bapak mencari itu … mencari syal yang berwarna ungu itu. Yang dikerjakan Ibumu sebelum Ibu enggak ada. Di mana, ya?” Pak Basri tanpa menghiraukan pamitku terus saja memilah-milah di antara benang-benang yang dijadikannya berantakan.
“Pak, Bapak lupa! Syal itu ada di kamar bawah sewaktu tadi saya salat magrib,” aku berusaha menjelaskan kepada Pak Basri yang tampaknya sudah mulai pelupa, “bukankah selalu ada di kasur tempat Bapak istirahat?” aku kembali berusaha mengingatkan.
“Apa iya, ya? Ya ya … Bapak lupa. Mana?” tanya Pak Basri kembali.
Aku mengambilkan syal itu di kamar lantai dasar. Syal ungu, yang kukira tadinya sudah selesai ternyata itu belum utuh sepenuhnya. Aku meremasnya lembut, menciumnya, memeluknya. Warna ungu punya kisah tersendiri bagi Pak Basri dan Bu Fina. Ada tiga perjodohan yang terjadi antara aku dan Bu Fina di masa lalu. Kami bertemu tanpa sengaja di Kaliurang Yogyakarta, kami bertemu di kereta api kala perjalanan ke Jakarta yang tanpa sengaja duduk bersebelahan. Dan ketiga, kami bertemu di Bandung saat itu. Pada suatu hari, pernah kami berjalan bersama layaknya Ibu dan anak. Aku menemani Bu Fina membeli banyak benang-benang rajut yang merupakan kecintaannya. Hanya hal yang aneh, baru pertama kalinya Bu Fina membeli benang rajut berwarna ungu.
“Semoga, suatu hari nanti Bapakmu kembali menyukai warna ungu. Karena Ibu suka sekali dengan gradasi ungu …” cerita Bu Fina di belasan tahun lalu kepadaku seraya memilih serat-serat wool di rak-rak yang tersusun rapi dari toko kerajinan.
“Kenapa Bapak tidak menyukainya, Bu?” tanyaku polos yang saat itu masih sangat muda.
“Ibunya Bapak meninggal terlindas motor saat Bapak berusia tiga belas tahun. Dan kebetulan, baju yang melekat di tubuh Ibunya adalah warna ungu. Bahkan, baju penuh darah itu sengaja tak dicuci Bapakmu. Justru Ibu yang memaksa untuk mencucinya, Nak …” jelas Bu Fina.
Pantas saja, tak pernah kutemui hiasan atau ornamen apa pun di rumah ini dengan berwarna ungu atau keunguan. Alasan itu ternyata tidak pernah main-main dengan kejiwaan Pak Basri. Di dunia ini masih saja ada hal-hal yang terkadang aneh kita terima secara akal. Lantas, kenapa sekarang Pak Basri mencari syal ungu? Bu Fina mengajarkan kepadaku banyak hal dalam rumah tangga. Banyak pesan-pesan beliau yang saat itu belum bisa aku terima karena faktor usiaku masih sangat muda. Ibu dari tiga anak laki-laki yang sungguh semangat sekali menebarkan cinta dengan kesabarannya. Ibu yang begitu penyayang terhadap menantu-menantunya.
“Nak … sudah ketemu?” Pak Basri mengagetkan aku dengan tiba-tiba.
“Ini yang Bapak cari?” sembari aku menunjukkan syal lembut nan cantik. Dan Pak Basri kembali berkaca-kaca saat aku membawanya di genggamanku.
“Iya, Nak! Benar. Ini yang Bapak cari …” bergegas mengambilnya dari genggamanku.
Kami berdua duduk bersama di pinggir ranjang. Bersamaan dengan datangnya Mas Cahyo.
“Tuh, Bapak kalau lihat itu sering mewek, Rie.” Sahut Mas Cahyo.
“Pak, syal ini Ibu pasti baru merajutnya sebelum Ibu meninggalkan kita. Ini benang sudah lama dibeli Ibu belasan tahun lalu saat saya masih kuliah, Pak …” aku berusaha menjelaskan kisah pada Pak Basri, “karena bila Bapak melihat warna ungu, Bapak akan teringat Ibunya Bapak dan Bapak marah, bukan? Padahal, Ibu sangat menyukai warna ini sejak kecil, Pak …” sembari aku merangkul bahu Pak Basri.
“Iya, Ibu selalu banyak mengalah untuk Bapak …” ungkap Pak Basri menambahkan keindahan, “dan lama-lama ini rusak,” seraya menunjukkan padaku.
“Itu bukan rusak, Bapaaak. Syal ini belum sempat diselesaikan oleh Ibu sebelum meninggal,” aku menyenyumi Pak Basri, “Sini, biar saya selesaikan. Akan saya bawa pulang. Nanti akan saya kembalikan ke Bapak lagi, ya?” sembari kuambil dari genggaman Pak Basri, “hanya sebentar, Pak. Tidak akan lama …” lanjutku beranjak dari dudukku.
“Aku antar pulang, Rie. Sama sopir,” Mas Cahyo menawarkan waktunya.
“Taksi juga enggak apa, Mas. Ini sudah hampir jam sepuluh malam. Dari sini ke rumah juga deket, enggak apa-apa.” Putusku.
“Jangan! Ayo, aku antar. Biar Bapak istirahat di rumah,” Mas Cahyo menegasi.
*******
“Bapak jangan boleh menyetir lagi, Mas Cahyo. Aku takut …” pintaku saat kami sudah berada di dalam mobil, “coba seperti tadi. Beliau sudah mulai pelupa …” tegasku.
“Pasti akan aku jaga pesanmu. Memang harusnya seperti itu …” jawab Mas Cahyo, “terima kasih, kamu sudah mau menemani Bapak hari ini, ya?” seraya menoleh ke belakang.
Aku menikmati lampu-lampu nan tak pernah redup di tengah metropolitan. Semakin malam serasa semakin padat saja para pengunjung jajanan ibu kota. Aku hampir tak bisa menahan lagi lelah dan kantukku. “Pak Bripkaku … sedang apa Pak Bripkaku?” Hampir tak bisa aku bedakan lagi saat aku lelah dan mencemaskan Pak Bripkaku.
*******
Empat hari kemudian, Stasiun Manggarai …
“Kau akan main ke sini lagi, kan?” suara Mas Cahyo tiba-tiba membuatku terkejut.
“Mas! Aku pikir tadi hanya Pak Munir yang datang ke sini,” aku gembira menghampiri Mas Cahyo yang sudah bisa sumringah kembali, “kenapa repot-repot datang ke sini, Mas? Bapak siapa yang menemani di rumah?” tanyaku cemas.
“Ada Bibi. Lagian hanya sebentar, kan?” jawab Mas Cahyo seraya tawa itu menampakkan gigi putihnya kembali setelah sekian lama bungkam, “masih lama keretamu, Rie?”
“Masih dua puluh menit lagi, Mas Cahyo.” Jawabku sembari kuberikan syal ungu yang sekarang menjadi kerinduan Pak Basri itu, “ini! Sudah selesai aku kerjakan. Titip buat Bapak, Mas.”
“Wah, sudah selesai?”entah kenapa, Mas Cahyo nampaknya semangat sekali di kala itu, “Rie, terima kasih sudah menampung ceritaku. Semuanya …” seraya menyenyumiku.
“Kembalilah pada hatimu, Mas Cahyo! Cinta itu akan menemukan jalannya serumit apa pun. Cinta itu memaafkan kesalahan dan kekurangan. Selama masih ada saling cinta di sana. Saling, Mas. Saling,” tuturku mendekati Mas Cahyo.
“Ya. Aku harus membenahi diriku lebih baik dari saat ini, kan?” tanyanya kepadaku.
“Iya, Mas. Oh iya, titip salam untuk Bapak.” Pungkasku.
“Pasti akan aku sampaikan. Mungkin, setelah ini rumah kami akan penuh dengan semburat ungu. Agar kami bisa mengenang Ibu,” tatapan Mas Cahyo yang mulai berbinar penuh harapan.
“Mas, aku harus masuk ke dalam. Sepuluh menit lagi keretanya akan tiba,” sembari aku merapikan baju dan mengecek bawaanku yang hanya satu koper saja.
“Tunggu, Rie! Ingat pesanku, jangan membenci sesuatu karena kamu bisa sangat mencintainya suatu saat nanti. Dan justru kamu akan banyak belajar dari yang kamu benci sebelumnya.” Mas Cahyo mengenggam pergelangan tanganku mencegah aku sementara waktu, “pesan ini sudah pernah aku sampaikan kepadamu ketika kamu masih ada di semester lima,” lanjutnya.
“Mas Cahyo … Mas Cahyo …” aku kembali terduduk dan tiba-tiba saja memeluk lelaki yang sungguh seperti kakak bagiku itu. Aku menangis, aku menangis dan aku hanya ingin menangis. Itu saja.
“Sudah! Sudah … “ seraya tapak tangan Mas Cahyo menepuk-nepuk pundakku, “masih ingat pesanku yang lain, kan?” tambahnya.
“Masih! Aku tidak pernah melupakannya. Mas Cahyo bilang Allah memberiku kesabaran dan aku harus memupuknya. Allah memberiku kekuatan tabah dan aku harus mengasahnya. Allah memberikan sisi dalamku penuh kelembutan dan aku harus menjadikannya senjata. Iya, aku mengingat semuanya,” aku melepaskan dekapanku seketika, “aku harus masuk ke dalam. Aku harus pulang, Mas.”
“Ini! Tujuh tahun yang lalu Ibu berniat memberikannya kepadamu. Tapi, belum kesampaian kalian untuk bertemu kembali Ibu sudah tiada. Ambilah! Ada sedikit hadiah juga dariku,” seraya menyerahkan kotak berwarna merah muda lembut yang baru saja Pak Munir mengambilnya karena tertinggal di mobil, “semoga, kamu menyukainya.” Pungkas Mas Cahyo.
“Baiklah! Aku akan melihatnya nanti. Terima kasih banyak, Mas Cahyo. Aku pamit pulang …” sembari aku meresapi jabat erat kami saat itu, “Daaa …”
“Daaa …” sambut Mas Cahyo.
*******
Kotak merah muda berpita putih …
Seorang sahabat mengatakan kepadaku bahwa sedih dan senang itu sama rasanya, hanya mempunyai sensasi yang berbeda. Dan kita harus bisa menikmatinya sembari itu salah satu cara untuk mengingat Allah dalam lingkup religi. Cinta, kesetiaan, pengkhianatan pun adalah bagian kehidupan dengan beragam sensasi.
Aku buka pelan-pelan kotak istimewa itu dalam perjalanan keretaku. Masya Allah … kain tenun nan menakjubkan bernuansa ungu bersembur benang emas sedikit merah maroon. Pasti dari Ibu Fina dan mahal sekali harganya. Masih ada kotak kecil berwana hitam berisi arloji dengan rantai berwarna emas, yang pasti itu dari Mas Cahyo.
“Aku belajar kekuatan darimu. Aku belajar menghargai waktu darimu. Seorang adik perempuan yang tak pernah lahir di tengah keluarga kami, namun kamu seakan ada dan suatu saat bisa pulang ke rumah kami kapan pun. Kamu mengajariku untuk tak menyia-nyiakan waktu karena melewatkannya dengan penuh keegoisan hanya akan menjadi penyesalan, sedangkan orang yang kita cintai belum tentu lama menemani. Terima kasih telah mengembalikan semburat ungu di tengah keluarga kami. Sampai bertemu kembali adikku. Di waktu yang terbaik dari Allah. Mas Cahyo tidak akan lupa denganmu. Begitu pun Mas-masmu yang lain di sini.”
Selembar tulisan tangan Mas Cahyo yang tampak tak rapi-rapi amat menjadi ciri khasnya sejak dulu tak pernah berubah.
Di seat seberang seorang lelaki sangat muda terburu meletakkan kopernya seraya berbicara di telepon seluler dengan Ibunya. Notifikasi Whatsapp membuatku mengalihkan perhatian dari para penumpang yang sibuk menyesuaikan seat yang tertera di karcis masing-masing setelah di stasiun berikutnya.
“Kamu menyukai hadiah dari Masmu ini?” ternyata Mas Cahyo.
“Suka. Tapi, kenapa harus arloji? Pasti ini mahal …” balasku.
“Karena itu bagian dari kesukaanmu. Kamu tidak pernah bisa lepas dari waktu … hahah … jaga dirimu, adikku!” balasnya kembali dengan canda.
*******
“Auntie, may I be here?”
Aku terkejut dengan tanya anak kecil yang tiba-tiba ada di sebelah kananku, “of course! You are alone?” lanjutku berbincang dengan anak perempuan belum genap lima tahunan yang tampak bulai dengan rambut pirangnya.
“No, it’s my mother and my sister,” sembari menunjuk ke arah belakang.
“Bella, stay there!” teriak ibunya yang ripuh dengan dua koper bawaannya, “Bella, stay there! You heard mother?” ulangnya sekali lagi.
“Yes, Mom! I’m here …” jawab anak kecil itu dengan lantang.
“Maaf, Mbak. Anak-anak sudah mengganggu …” nampaknya Ibu dari si kecil bulai itulah yang sedang menyapaku. Tempat duduknya selisih satu kursi di depanku.
“Come on! Our place in front …” tiba-tiba saudarinya yang lain segera menarik Bella sambil berlari kecil, “bye, Auntie …” sembari Bella melambaikan jemari mungilnya kepadaku.
“Bubye, dear!” balasku tertawa kecil melambaikan jemariku pula.
“Don’t run, dear!” teriak ibunya kembali pada kedua anak kembarnya itu, “permisi. Terima kasih, Mbak …” seraya menyenyumiku dan kembali ripuh dengan anak blasterannya.
“Pak Bripka … kau ada di mana? Setiap aku bertemu dengan si kembar aku selalu mengingatmu, Pak Bripka. Bukankah kau juga menyukai kelucuan anak-anak kembar? Aku merindukanmu …”
*******
Kereta mulai bergerak kembali, keributan para penumpang dengan tempat duduknya pun kian senyap. Saatnya menikmati perjalanan panjang. Tanpa berangan-angan, Katon Bagaskara-Cinta Putih. Lagu top di tahun 2001-an itu kembali memunculkan makna-makna terdalam akan sebuah cinta dua manusia. Suara itu berasal dari penumpang yang duduk persis di belakangku. Penggalan demi penggalan lirik-lirik mengalun syahdu mengiringi hembusan angin yang terpecah oleh laju lokomotif hingga berdesus menembus jendela kaca.
Kembali lagi Bella mengintip genit dari balik kursi di depanku, “Hi, Aunt …” seraya berkisik.
“Hi, Bella … come here!” sembari aku melambaikan tanganku.
“Hihihi … husss … don’t be noisy!” seraya menutup bibir mungilnya sesekali melirik ibunya.
“Okay, I will shut up. Husss … come here!” dan kami berdua tertawa kecil bersama-sama.
“I have a cake for you …” tangan mungilnya itu memberikan sepotong roti bertabur daging dan keju untukku.
“For me? Thanks! Come here, dear!” buru-buru aku mengecup pipi merahnya bercampur wangi bunga di rambutnya.
“This is our secret! Okay, Aunt …” seraya memberikan kelingkingnya kepadaku.
“Okay! I will keep this secret … husss …” sambil aku menirukan gaya Bella menutup bibirnya.
“Okay! I will go back to my mother. I’ll come back here later …” Bella bergegas kembali menghampiri ibunya seraya melambaikan tangan untukku.
*******
“Permisi, Mbak? Kondektur super rapi itu mulai melakukan pemeriksaan tiket penumpang satu per satu yang menjadi bagian dari tanggung jawab pekerjaannya, “Sini, Mas!” seraya mempersilakan lelaki tinggi besar untuk duduk di sebelahku.
“Permisi …” Lelaki bergaya kasual itu menganggukkan kepala kepadaku.
“Iya … silakan,” sahutku singkat.
Dan suara tangisan anak kecil seketika terdengar dari bangku depanku. Seperti suara tangisan Bella atau mungkin kembarannya.
“Where do you want to go?” tanya ibunya berkali-kali menuruti kerewelan putrinya.
“Mom! May I sleep with my aunt? Please! Please, Mom …” terus merengek manarik-narik tangan ibunya seraya menunjukku.
“No, dear! It’s annoying …” jawab ibunya mulai geram.
“Keluarganya, Mbak?” Mas di sebelahku bertanya kepadaku.
“Oh, bukan! Tapi, dari tadi memang main-main ke sini,” jawabku.
“Oke, biar saya sementara pindah di yang kosong. Tas saya masih di atas, kok! Enggak apa-apa,” Mas di sebelahku beranjak pindah di tempat duduk kosong tak jauh dariku.
“Mbak, biar Bella di sini. Enggak apa-apa, kok! Nanti saya antar ke depan lagi,” ujarku meyakinkan ibunya.
“Terima kasih, ya, Mbak. Maaf, mengganggu …” buru-buru kembali ke putri satunya yang sudah berteriak memanggil.
“Come here!” aku menggandeng Bella untuk duduk bersamaku, “you can speak Indonesian?” sembari aku menata bantal Teddy Bear yang dipeluknya.
“Hemmm … “ Bella menggelengkan kepalanya.
“Alright, it’s okay. Sleep here!” sembari aku membaringkan Bella di pahaku.
“Husss … Twinkle twinkle little star, how I wonder what you are, up above the world so high, like a diamond in the sky, twinkle twinkle little star, how I wonder what you are … husss …” sembari tapak tanganku terus menepuk-nepuk lembut paha kecilnya hingga mata itu terpejam rapat. Dan giliranku yang mulai diserang rasa kantuk sangat.
*******
04.30 WIB,
“Aunt …” Bella membangunkan aku.
“You need something?” tanyaku yang masih dengan kantukku.
“No! I just wanted to give you this …” sembari memberikan gelang giok kecil kepadaku.
“Oh, No! Your Mother will be angry. No …” aku menolak pemberian Bella secara halus sembari menggelengkan kepalaku.
“Mother will not be angry with me. Take it!” Bella tetap memberikannya kepadaku.
“Thanks! This is very beautiful. Hope we meet again, dear! I love you so much …” aku mengecup kedua pipi merahnya itu dengan wangi yang masih sama seperti sebelumnya.
“Do you like it, Aunt?” tanya Bella begitu polos.
“Very! Thanks a lot, dear …” aku memeluk Bella erat-erat, “where are you going, Bella?” tanyaku.
“My Dad will come from Eindhoven,” jawabnya, “I have Grandpa in Surabaya …” lanjutnya sembari mengucek-ngucek matanya.
“I also have something for you …” balasku.
“Hurray! What is that?” dengan semangat menatapku.
“Wait!” sembari aku mengambil sesuatu dari koper.
Entah kenapa aku bisa lupa memberikan sweater yang sudah aku buat untuk keponakan perempuanku. Mungkin, ini rencana Allah agar aku lebih dulu membahagiakan anak kecil yang sudah menemaniku duduk semalaman.
“To here, wear it!” aku membantu memakaikan di tubuhnya yang lucu dan mungil. Serat-serat benang Baby Akwool warna pelangi itu sungguh pas di kulitnya yang putih kemerahan.
“Hihihikksss … Wow! I like it very much. Thanks, Aunt …” Bella mengecup pipiku dan mendekapku erat-erat.
Aku tak menyadari jika Mas yang seharusnya duduk di sebelahku tadi memerhatikan kami berdua. Aku sekejap menatapnya dan dia tersenyum kepadaku. Dan selanjutnya aku bercanda dengan Bella.
*******
“Bye, Aunt! Bye …” Bella tak hentinya berteriak dan melambaikan tangan mungilnya di dalam gendongan Ayahnya yang memang asli bulai itu setelah kami tiba di stasiun tujuan. Aku pun membalasnya dengan ciuman jauh, “bye! See you again, dear …”
“Pantas jadi guru TK, Mbak …” seketika Mas yang duduk di sampingku dalam kereta sudah ada di sebelahku kananku.
“Oh, Mas. Maaf semalam. Hehe …” balasku menyenyumi.
“Jangan-jangan guru TK, ya?” lanjutnya bertanya.
“Saya bukan guru TK, Mas. Tapi, saya bercita-cita ingin punya sekolah TK. Oke! Saya duluan, ya?” pamitku hendak menuju pintu keluar.
*******
Teruslah membenahi diri demi cinta agar kelak kita bisa menjadi yang terbaik untuk pasangan kita. Mau kita sederhana, mau siapa pun diri kita … hal terbesar jika kita mencintai seseorang adalah tuntutlah diri sendiri untuk berbenah. Jangan sedikit pun menuntut orang yang kita cintai untuk berbenah sebelum diri kita. Mencari apa yang diinginkan dan bukan menuntut apa yang kita inginkan. Lelaki lembut, sabar, dan telaten itu memang sangat jarang kita temukan namun jika perempuan tak mampu untuk itu maka patut dipertanyakan. Salehnya seorang laki-laki adalah pada ucapan dan tanggung jawabnya dalam konsisten agamanya sebagai pembimbing. Pun salehahnya seorang perempuan ada pada bawaan sikap dan lisannya yang tunduk pada imamnya kelak.
Mari kita semangat menjadi ‘perempuan-perempuan berbahu emas’ yang senantiasa betah dan bahagia dalam sangkar emas lelaki saleh.
*******
Tujuh hari kemudian …
Tepat tujuh hari kemudian, semburat ungu itu pudar di langit ke tujuh. Bapak keduaku berpulang ke Rahmatullah tepat pada pukul 17.30 WIB karena serangan jantung yang sudah tujuh tahun dideritanya. Pertemuanku dengan Pak Basri kala itu adalah pertemuanku yang terakhir. Dan orang yang paling terpukul adalah Mas Cahyo. Allah memberikan banyak hikmah di sana. Pertemuanku dengan Pak Basri merupakan kebesaran Allah dalam menunjukkan rasa cinta-Nya kepadaku. Dari sana Allah mengajarkan kepadaku lewat banyak kisah.
Ketulusan cinta itu mampu menggempur apa saja. Melakukan apa saja tanpa lelah dan berpikir panjang dengan diri sendiri. Yang ada di hadapannya hanyalah bagaimana pasangannya bahagia dan Allah memberinya pahala. Sama persis seperti apa yang pernah Bu Fina ajarkan kepadaku sejak belasan tahun silam. Menangisi orang yang dicintai tanpa memikirkan untuk menangisi diri sendiri yang sempat terdzalimi.
Dalam hidup tak banyak pilihan: cinta tanpa berpikir atau berpikir sebelum mencintai, jantan untuk mencintai atau membentuk kejantanan untuk dicintai, tulus mencintai atau menunggu ketulusan dicintai, gagah tak ingin menyakiti atau menyakiti agar tampak gagah, tanggung jawab saat dituntut atau menuntut diri untuk bertanggung jawab.
Allah Azza wa jalla memberikan akal yang sangat sempurna, memberikan naluri yang cukup tajam, menciptakan cermin lewat orang lain agar kita selamat selanjutnya. Nikmat dari Allah yang mana lagi yang berkali-kali harus kita dustakan?
Selamat jalan Pak Basri. Doa kami anak-anakmu senantiasa yang istimewa agar kelak kita berkumpul di satu jannah. Dan terima kasih untuk sahabat serta orang tercinta akan kisah-kisahnya yang menakjubkan untuk dibagi kepada saya. Karena cinta, saya mempunyai kekuatan untuk menuliskannya. Hikmah mana yang tak bisa kita ambil dari sebuah kisah jika kita pandai mensyukuri nikmat?
Semburat ungu itu menakjubkan. Bayangkan jika pelangi tanpa keunguan. Kembang-kembang tak bersembur keunguan. Lautan tak bergradasi keunguan. Dan semesta tak berurun keunguan. Dia bukan terang bukan pula redup. Dia bukan yang terkuat bukan pula yang lemah. Semburat ungu itu melambangkan misteri, kekuatan, cinta yang tersembunyi, serta keindahan.
Latest posts by Arie Pudjiarso (see all)
- Si Penjual Jajanan Enak - January 16, 2018
- Semburat Ungu (Bapak Kedua) - January 13, 2018
- Saya Meninggalkan Facebook, Twitter, dan G+ - October 17, 2017