Semarang, 2008.
Celetak-celetuk, suara high heel berujung lancip tampaknya berusaha menyita perhatianku. Pembungkus tapak kaki yang tak pernah bisa aku menggunakannya itu lantaran kerap membikin bengkak jemari kakiku nan cantik berubah seketika jadi ungu-terong. Tetap saja, aku masih setia dengan sepatu kanvasku yang sangat murah hampir tiga tahun belum berganti baru. Tak usah kau bilang aku pelit atau jorok! Kau pasti tahu bagaimana rasanya jika punya satu benda kesayangan yang amat nyaman untuk dikenakan berkali-kali walau aroma busuk suah menjamur di sana.
Simpang Lima-Semarang. Pusat keramaian di kota tua yang unjuk dada dengan kebanggaan lantaran julukan angkernya itu. Jika malam terasa membosankan sebab kepingin mengisi lambungmu, jajanan di sana begitu komplet dan tinggal pilih saja mana yang kau suka. Mulai kaki lima murah meriah sampai yang harganya lumayan melambung di bawah harga-harga depot berlantai keramik dengan kursi nyaman untukmu melungguh.
Sampai sebegitunya, suara celetak-celetuk high heel itu benar-benar sudah menculik perhatianku di lokasi agak ke ujung belakang dari kawasan ramainya pedagang berkumpul di deretan paling depan pada umumnya. ‘Hajah Suti’, warung kaki lima dengan panganan khas Jogjanya. Bak bendera panjang berwarna kuning tua sebagai pengganti tembok itu bertuliskan cat-merah-hati, ‘Gudeg Hajah Suti’. Orang yang berkampung dari Wonogiri-Jawa Tengah merantau ke Semarang itu sangat ayu. Belum lagi setiap aku mengunjungi warung terbilang mahal dari segala jenis panganannya itu ada sisi yang membuatku sangat kangen dengan kemayu jemari anggunnya memperlihatkan segala tambang berharga. Mulai pergelangan tangan yang terikat gelang emas kuning pekat mencorong tujuh lapis hingga pangkal jemari tengah dan manisnya kanan-kiri dipeluk erat oleh cincin bermata giok tertanam dalam emas-putih-berbaur-kuning-mewah.
Coba, kau hitung saja sendiri sebuah cincin dengan batu giok asli yang warnanya tak bisa menipu bagi orang pecinta giok seperti aku ini. Masih giok! Belum emas yang begitu memberatkan jemarinya meracik empal, urat, dan jerohan sebagai pelengkap santapan favorit menengah ke atas itu. Ditambah lagi busana berwarna hitam kegemarannya justru menambah semakin mencorongnya rantai kapal kecil membelenggu leher menggantung di dada hanya karena jilbab yang menutup sebatas lehernya saja. Apalagi jika bukan kalung dengan liontin indah berkilauan bila kena sorot lampu penerang dandang, wajan, dan baskom penuh isian bagian-bagian tubuh ayam kampung itu bercampur sedikit rambak sapi serta kacang tolo.
Entahlah, aku tak tahu apakah perhiasan itu memang sengaja diperlihatkan pada para penyantap masakannya. Atau memang aku punya kekangenan unik penuh cekikikan bila bertemu beliau karena banyaknya atribut yang disangganya.
“Berapa, Bu?” tanyaku mengakhiri rasa lapar.
Buat apa aku berlama di sana. Makanku pun terasa diusik masyarakat Semarang karena siapa pun yang ingin menuruti nafsunya untuk duduk di kursi bayang itu harus mau antre menunggu sesuka si penikmat dengan apatis, hingga tuntas sebiji nasi tak ada di piring-piring mereka. Bagaimana rasanya jika kau makan dan diawasi banyak mata di luar sana? Seolah, kita ini cepat-cepat diusir lantaran masih banyak lambung-lambung nan berteriak minta jatahnya.
Sepanjang taman yang tak jauh dari Hajah Suti aku bertemu kembali dengan wanita bersama sepatu celetak-celetuknya. Sekali lagi, perhatianku kali itu sudah betul-betul dicurinya. Padahal, banyak orang sekitar yang tak mengindahkannya. Hanya sebatas melirik dan lebih konsentrasi untuk berebut anteran siapa dulu yang bakal memasuki warung berselimut kuning berhias penjual ayu-kuning-langsat di dalamnya.
Sesenggukan kecil jelas terdengar, aku melangkah ringan saja tanpa beban dengan sepatu bututku. Lebih mendekatinya, seorang wanita yang bisa aku bilang amboi! Aduhai! Alamaaak! Atau apalah jika kau para pemilik benih turunan para Adam menyebutnya. Air liurmu tampaknya akan menetes manakala menyaksikan pemandangan yang aku saksikan pula. Sesama perempuan aku merasa iri. Iri dengan lekukan setiap tubuh yang dimilikinya dengan terbuka itu. Hanya saja jika aku seperti dia, akan kusimpan untuk aset suamiku daripada terkena hembusan angin yang aromanya menebarkan nafsu binatang dan mampu menghilangkan perawanku. Lekukan dadanya menggeliat hampir menyembul keluar memutuskan benang yang menjerat kancing kemejanya. Berpadu rok yang tampaknya telah habis ukuran di toko. Bagaimana aku tak boleh menyebut seperti itu? Jika celana dalamnya saja bisa kau tebak apa warnanya, kawan! Sedikit memar di pelipis kiri dan darah di sudut bibir kiri pulalah yang berhasil membuatku jatuh perasaan menjadi iba. Lebih drastis dari rasa kasihan biasa, mungkin. Aku ini belum kenal, bahkan tak tahu apakah dia wanita baik-baik atau wanita bejat? Itu bahasa kasarku menyebutnya. Tak sempat aku menganalisanya dengan gelar sekolahku untuk hal itu. Baik dan tidak baik itu tipis sekali batasnya. Bagai selaput daramu yang bisa rusak kapan pun walau kau tak bergumul dengan separuh jiwamu di sana. Itu tandanya kau harus berhati-hati dengan batas baik dan tak baik menurut keyakinanmu masing-masing agar kau tetap baik-baik saja. Mudah-mudahan, kau cukup paham maksudku, kawan!
“Mbak, kenapa?” aku menyapa ringan perempuan itu sebab hendak kan melewatinya.
“Enggak, aku enggak apa-apa, Mbake,” sedikit susah berbicara lantaran napas yang mempermainkannya.
“Kita ke warung itu sebentar, yuk!” Busyet., rasa ibaku ini sudah keterlaluan. Menggandeng seorang perempuan yang menjadi sorotan banyak orang di sana. Dan aku sama sekali tak pernah mengenalnya.
“Enggak, Mbak! Jangan! Enggak enak dilihat orang. Aku ini bukan perempuan baik-baik, Mbake,” lanjutnya.
“Cukup! Aku sudah paham. Enggak usah diteruskan. Kita minum saja dulu di situ. Biar Mbak tenang.” Aku bergegas menarik pergelangan tangan yang tergolong sangat terawat itu, menuju sebuah warung.
Tampak ketakutan dan gugup. Jemarinya terus bergetar, itu menggambarkan keadaan yang pastinya sedang tidak baik dalam dirinya. Aku terus memandanginya dan perempuan itu hanya tertunduk malu.
“Makanlah! Mau makan apa?” tanyaku berkisik seraya aku membelai lembut pundak nan ikut bergetar kencang itu, “nama Mbak siapa?” lanjutku.
“Hem … hem … Laksmi. Aku terbiasa dipanggil Mimi!” Jawabnya seraya memeluk tas kulit-putih-tulang.
“Lalu, maaf. Mbak bekerja sebagai…” aku tak sanggup meneruskan tebakanku pada Mimi.
“Iya, Mbake. Aku ini penjual jajanan enak bagi laki-laki. Bahkan, lebih enak daripada sepiring gudeg yang mampu sampeyan nikmati di pojok belakang tadi,” dengan sangat jujur Mimi menjelaskan secara gamblang siapa dirinya.
Aku menghela napas panjang dan baru menyadari pada diriku sendiri. Kenapa orang-orang memandangku saat aku bercakap dengan perempuan sintal itu? Ya, kau pasti bisa menebaknya sendiri, kawan.
“Mbak terbiasa mangkal di sini?” sidik selidikku.
“Iya. Sudah ada empat tahun aku membiarkan tubuhku ini dicumbu oleh laki-laki mana pun yang mampu membayarku mahal demi pengobatan anakku,” air matanya mulai mengucur membersihkan darah di sudut bibir kirinya.
Ah, tak mungkin! Lagi-lagi aku dihadapkan dengan perasaan iba tanpa memandang latar belakang seseorang. Kami sama-sama wanita. Siapa yang menginginkan diberi peran seperti dia di dunia ini? Tidak ada, kawan! Begitu pun denganmu. Kita semua tidak pernah menginginkan semua itu. Aku mengatur napasku pelan-pelan agar pertanyaanku bisa tertata tetap antun di hadapan Mimi. Aku pernah berteman dengan anak seorang pelacur. Bahkan, aku pernah mempunyai teman seorang pelacur sebelumnya yang ada di Dolly Surabaya. Kenapa aku harus gamam menghadapi perempuan seperti Mimi?
“Mbak, aku harus pulang. Terima kasih untuk semuanya,” Mimi memotong pandangan kosongku tentang masa sebelumnya.
“Pesanlah makanan dulu! Sebagai tanda persahabatan kita,” aku mengulurkan jabat tangan dengannya. Entah, ini perasaan paling tulus yang pernah aku rasakan.
Mimi menyambut uluranku dengan erat sekaligus dengan kedua tangannya. Dia tak langsung melepas genggaman jemarinya yang membungkus tepalak tanganku.
“Aku senang bisa bersahabat dengan orang yang masih mau menerima aku apa adanya, Mbake. Aku senang bisa bersahabat dengan orang yang masih mampu melihat kebaikanku di sini …” seraya meletakkan tapak tangan di dadanya. Dan aku sangat memahami apa yang dia maksudkan untuk aku mengerti.
Aku hanya membalas dengan senyuman. Dan selanjutnya, aku lebih asyik melihatnya menikmati nasi bebek dan teh hangat pesanan dia dengan bersemangatnya. Tak pantas jika aku banyak bertanya mengenai perihal kehidupan pribadinya terlalu jauh. Tiba-tiba, bunyi ponsel itu menghentikan Mimi untuk mengunyah dengan nikmat sesuap demi sesuap nasi yang hampir saja dihabiskannya.
“Mbak, maaf. Aku harus bergegas pulang …” seraya akas memasukkan jemarinya yang penuh sambal itu ke dalam mangkuk tempat cucian tangan.
“Habiskan dulu!” Perintahku.
“Sudah, Mbak. Tapi, aku terburu.” Seraya bersegera meneguk teh hangat yang masih tersisa seperempat gelas itu.
“Mau ke mana?” tanyaku.
“Aku mau ke rumah sakit, Mbak. Anakku, Mbak. Aku harus pulang buat ganti pakaian dan harus segera menengoknya.” Seraya tergopoh-gopoh mencari dompet dalam tasnya.
“Sudah! Biar aku selesaikan dulu. Sebentar, ya?” aku beranjak berdiri membayar pesanan Mimi, “mari, aku antar!” aku segera menariknya menuju mobil.
“Hoalah, Mbake! Matur nuwun, yo?” (Hoalah, Mbak! Terima kasih, ya?)
Dan aku hanya menyenyumi bercampur gugup sebab aku pun belum benar-benar mengenal perempuan di hadapanku. Hanya aku mengikuti naluriku.
*******
Dalam perjalananku menyusuri jalan yang tak begitu jauh dari Simpang Lima. Di situlah Mimi bercerita tentang kisah hidupnya. Hingga, sampai di rumah yang begitu sempit di sebuah gang. Rumah amat sederhana peninggalan kedua orang tuanya yang tujuh tahun silam meninggalkan dia dengan segudang masalah tak kunjung selesai. Bapaknya meninggal saat dia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Dan Ibunya menyusul setahun kemudian. Mimi adalah dua bersaudara. Adiknya meninggal saat masih berusia dua tahun lantaran demam berdarah.
“Ayo, Mbak! Masuk. Maaf, berantakan.” Seraya membereskan pakaian-pakaian yang serabutan memenuhi kursi di mana-mana. Lampu yang sepertinya tak akan panjang usia lagi. Begitu redup. Tampak jelas menggambarkan duka Mimi nan sungguh-sungguh terhimpit banyak persoalan hidup.
“Sendirian tinggal di sini? Ada suami?” tanyaku seraya menengok kiri-kanan mencari tempat duduk kosong yang bisa aku singgahi. Ya, perihal suami yang tak pernah dibahasnya.
“Hem … itu enggak usah dibahas,” Mimi berlalu menuju almari baju yang terletak satu area dengan ruang tamu. Memilah-milah baju mana yang layak dia pakai, “aku tinggal ganti baju dulu ke kamar, ya, Mbak?” memotong tanyaku.
“Berapa tahun usia anakmu? Sakit apa?” seraya aku memutar pandang, tak ada foto sama sekali di sana.
“Nanti, Mbak lihat saja sendiri. Aku kasihan sama anakku jika mengumbar keadaannya ke orang lain. Aku yakin tak ada seorang ibu sepertiku yang mau menerima getirnya getah kehidupan,” Jawabnya seraya menutup pintu kamar sederhana terbuat dari triplek bercat kuning tua.
Rumah nan serasa asing. Aku bagai anak kecil yang mengarahkan bola mata menelusuri setiap dinding ruangan bercat hijau-tua-daun itu. Warna yang bagiku menciptakan kurang antusias dalam sisi kejiwaan. Kecuali, hijau itu sedikit lebih berbaur ceria bak hijau-buah-apel. Mungkin, akan lain lagi. Ah, lupakan! Anggap saja itu penggambaran dari batin yang punya rumah. Yang jelas aku prihatin.
“Ayo, Mbak! Aku sudah siap. Begini sajalah…” ucap Mimi tanpa diduga mengejutkanku keluar dari kamar.
“Oh, iya! Ayo…” sahutku sedikit tercengang.
Aku tak bisa menjawab banyak. Kali ini dandanan Mimi terlihat jauh berbeda dari sebelumnya yang aku temui di area mangkalnya tadi. Mimi di tahap kedua ini begitu amat sederhana tanpa make up sedikit pun. Rok landung bercorak batik-merah-darah dipadu bersama kemeja putih polos nan melekat sepanjang tangannya. Dan kau pasti akan lebih jatuh cinta dengan Mimi yang ada di hadapanku untuk kedua kalinya ini. Aku pastikan, pasti! Siapa darimu kaum lelaki yang tak menjatuhkan hati kepada sosok natural, sederhana, cantik tanpa poles sana poles sini? Ah, walau selera laki itu banyak beda tapi yang jelas kau akan lebih mempertimbangkan wanita-wanita berpenampilan seperti ini. Tapi, entah lagi jika kau benci dengan profesinya. Cukup ulasanku dengan gaya berdandan Mimi yang asli kali ini.
*******
Tak ada yang terungkap dari bibir tipisnya yang sudah terbebas dari gincu pengumbar birahi. Bisa kubilang serupa dandanan para jugun ianfu yang memenuhi ian-jo pada masa penjajahan tentara Jepang. Vulgar dengan warna-warna pemulas bibir. Kami terdiam lama dalam perjalanan ke rumah sakit yang hendak kan memasuki Jalan Wonodri. Aku pun tak banyak menanyakan perihal sensitif lantaran kami hanya baru kenal beberapa jam lalu. Akibat sok gaya akrabku ini, aku menjatuh-cintai sosok yang kuanggap ‘tegar pelupuk mata’. Wajar saja jika kemudian aku timbul rasa welas asih kepadanya. Iba yang terlalu mengiba.
“Aku rindu dengan kehidupanku yang bersih. Bersih dari hal-hal kotor seperti sekarang ini,” Mimi mulai mau membuka obrolannya denganku. Sesekali aku menolehkan tatapku padanya seraya aku mengelus bahu baju.
“Sudahlah! Aku bukan orang yang ingin memaksakan kehendak agar orang mau bercerita kepadaku. Lupakan saja! Tak usah kau paksakan untuk bercerita padaku,” Aku menegas.
“Iya, Mbak. Tapi, biarkan saja aku bercerita karena … hem …” Mimi tak sanggup melanjutkan kisahnya.
“Karena kau tidak punya orang yang tepat untuk bercerita, kan?” sambungku.
Seketika itu pula Mimi menoleh kepadaku. Tampak berladung air mata, terpecak peluh di muka. Persis beberapa jam lalu awal pertemuanku dengannya. Untuk kedua kalinya, kembali aku mengusap bahu bajunya sebagai simbolis turut iba dengan kisah hidupnya. Hingga, sampailah kami di sebuahrumah sakit.
“Mari, Mbak…” ajak Mimi.
Kami berjalan beriringan. Dan seperti biasa, rumah sakit adalah objek yang paling tak kusukai. Mau orang cantik, tampan, tua, muda, dan anak-anak lucu sekali pun jika sudah terkurung di sana tetaplah tidak berarti apa-apa. Kesehatan itu sangat berharga, kawan! Kebutuhan paling pokok. Bukankah seperti itu? Waktu mereka yang seharusnya untuk bercengkerama bersama keluarga justru habis di tempat berbau obat dan senjata kecil berupa jarum-jarum suntik menyakitkan. Dan ada beberapa dari mereka tersiksa kala sakaratul maut itu hendak menjadi tamu-tamu mematikan tanpa dikelilingi sanak-sanak tercinta.
Aku mengikuti saja langkah kaki Mimi mengarah ke suatu ruang. Tak salah lagi! Ternyata, naluriku benar. Tertampak malaikat kecilnya tak berada di ruang perawatan paling umum dari orang sakit bila berada di sana. Apalah kawan, kalau bukan ICU (Intensive Care Unit). Mulai dari UGD, kamar-kamar paviliun, ruang operasi, ruang jenazah yang terlewatkan dari jejakku. Ah, inilah! Ini yang aku paling tak pernah suka. Inilah diriku apa adanya yang betul-betul apatis dan angkuh jika ada sanak sekali pun terbaring di ICU. Apa yang ada di benakmu tentang ICU, kawan? ICU itu hanya tempat pasien yang tak jelas setelahnya. Untuk kembali dengan nyawa utuh saja bisa dihitung menggunakan jari dari prosentase yang masih mampu bernapas lega lagi dari sebagian mereka. Apa namanya kalau tak boleh aku sebut dengan ruangan karantina nyawa. Layaknya ‘life saving’. Seumur-umur, aku tak ingin keluarga, orang yang aku cintai, dan sahabat-sahabatku ada di sana.
“Mbak, bagaimana aku harus memanggilmu? Selama beberapa jam kita bersama, Mbak belum menyebutkan namamu. Mbak mau ikut masuk?” teguran Mimi membuyarkan bayang.
Andai keluargaku yang terbaring di sana, Ya Allah. Aku tak menjawab Mimi, sebab yang kulihat sudah cukup menimbulkan rasa pilu dalam hati sampai-sampai bibirku terbungkam rapat. Aku berdiri tepat di depan ruangan yang di dalamnya ada seorang anak kecil dengan ketidakberdayaan.
“Maaf, Mbak. Berkenankah menjenguk anakku?” hingga kali ini Mimi menepuk pundakku dan menanyakan untuk kedua kalinya.
“Hem … maaf, Mimi. Pikiranku sedang terbang jauh,” seraya aku menguatkan hati untuk ikut masuk kala aku akan berkenalan dengan si malaikat kecilnya.
“Iya, Mbak. Iya … aku mengerti. Tapi, kalau Mbak enggak begitu tegaan alangkah baiknya menunggu di luar saja.” Pungkasnya padaku, hendak kan melangkah meninggalkanku yang masih kaku berdiri di sana.
“Arie …” seraya aku mengulurkan jabat tangan pada Mimi, “sebenarnya aku ke Semarang sedang menjenguk Bapakku yang bertugas dinas di sini. Senang sekali bisa berkenalan pula denganmu,” aku menyenyumi muka penuh sedu itu.
Tak banyak bicara lagi, aku melangkah masuk ke ruangan yang selalu punya ritme klasik tersendiri dari berbagai bunyi alat-alat vital penyangga agar manusia masih berusaha untuk bernapas itu. Aku mulai berulam air mata. Bisa kutebak, dia masih berusia sekitar empat tahunan. Kakinya begitu mungil pucat lesi. Dahinya tertutup kain putih untuk menangkal sinar nan selalu penasaran menembus saraf-saraf manusia yang masih ingin membuka mata. Seorang gadis kecil, sungguh cantik. Begitu cantik! Bibir mungil nan merah segar khas dari anak-anak tampak mulai memucat. Kudunya gadis kecil sepertinya selalu berseri-seri bersama pipi kemerah-merahan nan melincah-lincah berlari ke sana kemari. Ya, seharusnya memang begitu. Tapi, saat itu yang ada hanya hawa dingin, senyap, seakan-akan semua warna berubah menjadi putih pudar. Raut muka tanpa ekspresi selain hanya rasa menyerah pada anak empat tahunan itu.
“Apa yang kau rasakan, sayang?” sembari kugenggam jemari mungil yang tak bergerak itu, “apa yang kau rasakan?” aku mengulangnya kembali seolah dia bisa menjawabnya, “di mana sakitnya?” terus aku membelai punggung tangannya yang tak hangat pun tak dingin.
*******
“Apa yang sedang dia rasakan? Sakit apa dia sebenarnya? Kenapa bisa seperti ini?” tanyaku pada Mimi setelah keluar dari ruang ICU.
“Dia terkena leukemia, Mbak.” Jawab Mimi kembali berurai air mata.
“Ya Allaaah, astaghfirullaaah. Leukemia? Di usia sekecil ini?” ujarku keheranan.
“Iya …” Mimi hanya bisa menunduk lemas seraya menganggukkan kepalanya berkali-kali.
“Ya Allaaah, akut atau kroniskah? Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana awalnya?” aku terus mengejar tanya dengan keingintahuanku yang besar dan Mimi tak menjawabnya lagi, “Mimi, dengarkan aku! Kita harus optimis. Kamu yang semangat. Berpikirlah yang baik-baik!” aku bergegas menjauh dari ruangan itu.
“Mbak, otakku ini masih waras. Aku masih cukup mampu berlogika. Mana mungkin aku bisa berpikir yang baik-baik jika secara medis saja tak mampu memberikan kepadaku harapan baik yang nyata? Lantas, aku harus berbaik sangka seperti apalagi pada Gusti Allah?” seraya Mimi mengejarku dengan segala gejolak emosinya.
“Mimi, Gusti Allah pun mampu memberikan mukjizat kepada setiap umat yang percaya pada-Nya. Apa pun keyakinan kita pasti di setiap keyakinan itu selalu terselip mukjizat. Bagaimana mungkin kamu seorang Ibu tak sedikit pun memercayai akan hal itu?” Aku kembali menegas tedas dan terus melangkah cepat menjauhi ruang ICU.
“Aku bukan tidak memercayai mukjizat, Mbak. Tapi, sekarang aku sudah tidak percaya lagi. Sudahlah!” Mimi tak kuasa menyembunyikan sedu sedan, “Mbak, sampeyan tidak paham perasaanku saat anak itu punya kelainan dalam rahimku ini. Apalagi Bapaknya bejat yang sampai tega menjual istrinya sendiri sebagai pelacur kaki lima. Biar saja Gusti Allah menimpa aku neraka kalau jalan hidupku seperti ini. Karena aku tidak pernah minta seperti ini,” seraya Mimi setengah berlari meninggalkanku yang saat itu sebetulnya dia pun tak mampu menguatkan hatinya sendiri menyaksikan anaknya terbaring layaknya mayat.
*******
Musala rumah sakit …
Tak begitu ramai yang salat di sana lantaran jarak antar jamaah-jamaah itu masih tampak begitu renggang. Hanya saja, di sana penuh tumpat dengan doa-doa terbaik yang berkumpul dan antre di atas awan membaur jadi satu untuk saudara-saudara mereka. Aku melihat Mimi nan khusyuk bersimpuh lemah di sana. Menahan sesenggukan. Nestapa yang bisa aku rasakan dari seorang ibu baginya.
Saat itu juga tiba-tiba saja Bapak meneleponku. Nampaknya, Mimi langsung menyurihkan perhatiannya padaku saat mengetahui suaraku tepat di depan musala. Tanpa sengaja dia pasti mendengarkan obrolanku dengan Bapak.
“Mbak, mau ke mana? Mau balik pulang?” seraya bergegas mendekatiku memegang lengan bajuku, seolah-olah dia keberatan akan perpisahan.
“Iya, Bapak sudah mencariku. Ada sesuatu sehingga aku disuruh untuk cepat pulang,” jawabku seraya muka sabak.
Mimi seketika berubah kemuraman. Air matanya meleleh jatuh ke ujung dagunya. Mukena nan masih melekat itu dilepasnya pelan-pelan dengan langkah lemas. Dan serasa tak ingin menolehkan wajahnya lagi padaku.
“Doakan aku bisa kembali lagi ke sini untuk menjengukmu dan anakmu,” air mataku mulai bercucuran kala itu.
“Iya, Mbak. Enggak apa-apa. Kita juga barusan kenal tadi. Mana mungkin orang seperti aku ini menahanmu di sini,” seraya memakai kembali sepatu kulit berwarna cokelat. Tetap tak mau menatapku.
“Aku sudah menganggapmu seperti adikku sendiri. Kalau pun memang takdir tidak berpihak pada kita saat ini untuk bertemu lagi, itu hanya sementara. Kita pasti akan bisa bertemu kembali. Aku benar-benar iba dengan anakmu,” Aku duduk mendekati perempuan nan sungguh-sungguh semak hati.
Mimi tak mengeluarkan kata-kata lagi padaku walau setidaknya ucapan perpisahan untukku. Perpisahan yang kami tak pernah tahu, sementara ataukah selamanya. Aku menuju kembali ke ruang ‘Ilsa’, anak semata wayangnya sebelum aku benar-benar kuat meninggalkan mereka berdua entah-berentah sampai kapan. Doaku senantiasa mengiringi gadis cilik itu agar mendapatkan yang terbaik dalam segalanya.
“Terima kasih, Mbake. Walau hanya empat jam kita bersama, namun Mbak satu-satunya orang yang mau memandang aku lain daripada orang-orang liar di luar sana,” suara itu aku dengar jelas dari sisi belakangku, “setidaknya aku masih tampak selayaknya perempuan baik di hadapanmu,” seraya duduk lantaran tak kuat menopang raganya sendiri akibat begitu berat duka yang diterimanya.
“Sudahlah! Tak ada perempuan yang ingin sepertimu,” sembari aku merengkuh pundaknya dalam dekapanku. “ini kehidupanmu dan aku tak punya hak atas pilihanmu. Aku berdoa cepatlah keluar dari lumpur yang bisa menelanmu pelan tapi pasti. Aku yakin, anakmu juga akan sangat sedih jika tahu Ibunya melakukan kehinaan seperti ini.”
Lalu kami berdua melepaskan ikatan dalam sunyinya situasi para pengunjung dan pasien kala mulai berkurang hingga hanya sepi yang tertinggal.
*******
Tiga pekan kemudian…
Kedatanganku kembali ke Semarang setelah aku dari Surabaya. Hal utama yang sudah pasti aku niatkan adalah menjenguk Ilsa. Durja cantik itu serasa terus mengikutiku, raga mungil itu yang sudah mengajariku banyak hal tentang cinta, semangat, dan kekuatan. Dia berhasil menarikku untuk kembali menjenguknya. Hari itu seharusnya menjadi hari bahagia bagiku sekaligus menjadi hadiah terindah untuk Mimi. Namun, takdir Tuhan sudah tercatat dengan rapi untuk langkah sang manusia. Malaikat kecil itu telah berpulang ke Rahmatullah tepat sepekan yang lalu. Informasi itu aku dapatkan dari pihak rumah sakit sekaligus tetangga Mimi.
Sudah empat hari, tetangganya bilang bahwa Mimi tidak pulang ke rumah. Bahkan, tidak ada acara berkirim doa untuk si mungil yang sedang terbang tanpa beban yang mungkin sudah melewati Arsy. Entahlah, sampai di mana Ilsa saat ini. Allah sudah begitu sayang memangkunya agar derita itu hilang.
“Kamu di mana, Mi?” gejolak batinku terus menyambung rasa.
Hari ketiga aku di Semarang, belum juga aku bertemu Mimi. Lagi-lagi rumahnya masih sunyi tak berpenghuni. Hingga hampir setiap hari aku membeli jajanan gudeg ‘Bu Hajah Suti’ berharap bisa menemukan jejaknya, namun tetap saja dia tak muncul sama sekali.
Sampai hari keenam pun, bayangan Mimi sama sekali tak tertangkap. Padahal, esok aku sudah harus balik pulang ke Surabaya. Rumahnya benar-benar sunyi. Haduh, aku ini benar-benar seperti Conan saja saat menyidik sesuatu namun tanpa hasil. Seketika aku bergegas menghampiri tetangganya untuk memastikan bahwa memang rumah itu kosong. Tapi, kenyataannya memang kosong penuh kesenyapan.
“Mbak, sudah hampir seminggu Mimi tidak pulang …” tetangganya tiba-tiba berteriak dari balik pagar bambu seraya menyapu teras rumahnya.
“Oh, begitu. Mungkin, dia ke keluarganya ke mana atau ke mana tahu enggak, Bu?” tanyaku balik.
“Kalau itu saya kurang tahu, Mbak. Tapi, waktu pergi dia bawa tas agak gede …” jelasnya.
“Begini saja, Bu. Saya tinggal nomor telepon ke Ibu. Nanti kasihkan ke Mimi atau Ibu kabari saya saja kalau Mimi sudah pulang. Minta tolong, Bu …” pintaku dengan sopan, “makam anaknya jauh enggak, Bu?” ingatku tiba-tiba pada Ilsa.
“Itu jauh. Di ujung sana …” seraya menunjuk ke satu arah yang jelas-jelas aku tidak paham yang dimaksud karena aku bukan orang asli Semarang.
Tepat hari ketujuh, nihil! Aku sama sekali belum dapat kabar dari Mimi dan aku sudah menyerah. “Semoga kamu baik –baik saja, Mimi …” kisikku dalam hati.
*******
Sampang, akhir Agustus 2017.
Aku mendapatkan pesan Whatsapp yang tak pernah kukenal sama sekali. Pengirim itu memastikan apakah benar diriku hingga dia memberi alamat rumah sakit yang harus aku datangi beserta sebuah foto yang aku pangling dengan wajahnya.
“Rie … nanti ada acara makan malam bersama pukul 18.30-an. Teman kita dari Sumenep datang,” Whatsapp-ku terganggu suara Mas Abu via telepon.
“Mas, hem … begini … aku tidak hadir makan malam nanti sepertinya … aku izin ada urusan ke Surabaya.” Nadaku gugup dan jantungku berdetak kencang.
“Ya enggak bisalah! Kenapa enggak sekalian bulan depan? Bulan depan kita sudah ke Bangkalan. Lebih dekat ke Surabaya …” tolak Mas Abu.
“Baik … baik … kalau begitu setelah makan malam aku ke Surabaya …” desakku dengan keras kepala.
*******
19.45 WIB.
“Rie … ini sudah malam! Enggak, aku tidak akan mengizinkan. Nanti Pak Ketua pasti mencari kamu,” seraya terus menghalangiku.
“Mas, selama ini aku sudah banyak membantumu, kan? Ini urusan penting. Kalau harus menunggu sampai Bangkalan bulan depan aku enggak akan tahu dia masih hidup atau enggak!” aku mulai beradu emosi dengan Mas Abu.
“Rie …” seraya menghalangiku masuk ke rumah kontrakan sederhana di daerah pinggiran.
“Tadi bilang katanya siap mengantar, kan? Jadi atau aku berangkat sendiri?” desakku.
Dan Mas Abu pun menatapku dengan jengkel sembari kutinggalkan ke dalam rumah untuk mengambil keperluanku.
*******
“Rie …” kembali Mas Abu berusaha memberiku pengertian.
“Biar saya saja yang mengantar, Bu. Selama baginya hal itu penting, dia akan tetap keras kepala …” sahut Mas Fahri tiba-tiba muncul di antara kami.
“Mas! Mas Fahri bisa mengerti posisiku, bukan?” pintaku, “ini darurat. Ini sangat penting bagiku …” aku terus meyakinkan.
Mas Fahri hanya diam pertanda dia mengizinkan aku ke Surabaya malam itu.
“Abu, panggil Evi suruh menemani!” perintah Mas Fahri kepada Mas Abu agar pemilik rumah tempat kami menginap bisa menemaniku. Orang Gresik yang keluarganya sudah menetap di Sampang. Yang masih ada hubungan saudara dengan Mas Fahri.
“Terima kasih, Pak Ketua …” sembari aku bergegas masuk mobil dengan cemas.
“Untung saja yang punya rumah bisa menemani kamu. Kalau kamu masuk hotel bintang lima akan lain lagi ceritanya …” sahut Mas Fahri seraya menstarter mobil.
“Iya, Mas. Terima kasih …” jawabku lemas.
Kami melakukan perjalanan bertiga. Aku, Evi, dan Mas Fahri. Sepanjang waktu aku hanya terdiam karena kecemasanku. Tidak ada cerita apa pun, sedangkan Evi pulas memejamkan mata di jok belakang.
*******
Surabaya …
“Mas Fahri … agak cepat sedikit …” aku semakin cemas.
“Sabar … ini juga sudah sampai,” seraya Mas Fahri sibuk dengan kemudinya menata parkir.
Aku bergegas turun dari mobil dan bertemu dengan seseorang yang mengirimkan pesan kepadaku. Kami membuat janji di ruang tunggu. Aku semakin memperlambat langkahku ketika berhadapan dengannya yang mempunyai ciri-ciri sesuai apa yang aku terima. Kami sama-sama tercengang karena memang tidak pernah saling mengenal.
“Mbak yang kirim ini ke aku?” sembari aku menunjukkan telepon selulerku.
“Iya …” perempuan itu menganggukkan kepalanya.
“Kamu siapa?” tanyaku.
“Lia.” Seraya mengulurkan jabat tangan kepadaku, “mari, ikut aku!” ajaknya berjalan bersama.
Mas Fahri dan Evi pun mengikutiku di belakang. Aku tidak tahu siapa perempuan yang ada di sampingku ini dan aku akan dibawa ke mana.
*******
“Mbak … jenguknya enggak bisa lama. Tadi aku sudah berunding dengan perawat yang bertanggung jawab karena memang keadaannya seperti ini,” seraya membantuku memakai baju pelindung, “ayo, aku bantu pakai …” lanjutnya.
“Hai … sebentar-sebentar! Ini ruang isolasi dan dia harus pakai baju seperti ini. Ini siapa yang sakit? Masalahnya dia tanggung jawabku, loh!” Mas Fahri menarikku keluar bermaksud tidak mengizinkan aku untuk masuk ke dalam.
“Maskernya, Mbak …” Lia buru-buru memakaikan semua peralatan perlindungan untukku tanpa menghiraukan Mas Fahri, “Mbak … waktunya tidak banyak. Aku hanya membantu dan menjalankan amanah saja,” tuturnya tanpa aku tahu siapa di dalam sana.
“Rie!” Mas Fahri menarikku kembali.
“Sudah, aku enggak apa-apa. Tunggulah sebentar!” pungkasku pada Mas Fahri.
“Mbak, itu sudah ditunggu sama perawatnya … waktunya tidak banyak. Cepatlah masuk!” Lia bergegas mendorong tubuhku untuk segera jalan melewati lorong bagian dari ruang isolasi.
Aku menatap Mas Fahri dan berlalu tanpa memedulikannya, bercampur takut memasuki ruangan itu.
“Suster! Jangan ditinggal, ya?” sembari aku merapati perawat itu.
*******
Tampak senyap, bahkan Allah pun sangat tahu aku tidak pernah menyukai rumah sakit. Aku mulai melangkah pelan mendekati pasien yang terbaring di sana berselimut krem. Sesekali aku melihat perawat yang menemaniku.
Aku terus mendekati dan lebih dekat lagi dengan pasien yang membelakangiku itu. Pasien yang kurus kering sampai-sampai tulang pada lipatan sikunya sangat tampak. Dan seketika tangisanku pecah menjeramah ruang. Aku pun merungguh menghimpit dinding. “Ya Allah … ini Mimi …”
Tahi lalat di keningnya adalah ciri khas Mimi. Antara kegugupan, keheranan, dan kebingungan, semua menyerangku. Sembilan tahun berlalu dan aku tidak pernah menyangka masih bisa bertemu Mimi.
“Mimi …” sembari aku berkisik membelai tangannya.
“Mbak …” Mimi membuka matanya dengan susah, bahkan untuk tersenyum saja tak bertenaga. Suaranya sangat berat.
Dia mengaitkan jemarinya kepadaku. Di antara kami tak banyak kata yang terucap. Hanya saling menatap dengan hati. Saling mengenang pertemuan kami sembilan tahun lalu.
“Istirahat saja. Aku tidak bisa lama di sini,” sekali lagi aku hanya berkisik.
“Lia tahu semuanya …” jemari Mimi masih erat menggenggamku.
“Iya, nanti aku akan berbicara dengan Lia. Istirahatlah!” air mataku jatuh tepat di genggaman kami berdua.
“Kalau aku tertidur enggak apa, ya?” tanyanya seraya tersenyum kecil, “rasanya sakit semua …”
Perawat mulai mengode aku. Pertanda bahwa aku memang harus segera keluar. Dan Mimi tampak sudah tertidur. Sembilan tahun lalu aku hanya semalam bertemu dan dekat dengannya, itu pun rasanya ada sesuatu yang luar biasa terikat di antara kami. Dan malam ini, hanya beberapa menit Allah mempertemukan kembali aku dengan Mimi dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Hatiku kembali berdetak kencang, apakah aku akan bertemu kembali dengannya? Atau aku harus menunggu lagi selama tahunan?
*******
Bangkalan, awal Oktober 2017.
Lembaran demi lembaran yang terbungkus hard cover kuning muda bergambar dua anak kecil saling berpelukan itu sudah tuntas aku baca. Buku harian almarhumah Laksmi. Tepat hari itu Lia pun berpamitan kepadaku jika dia hendak kembali pulang ke kampung halamannya di Semarang. Tidak sebagai ‘penjual jajanan enak’ lagi di kota besar kedua yang disinggahinya saat itu. Dia pun berniat untuk tes HIV/AIDS lantaran tak ingin dirinya seperti Mimi yang terlambat diatasi. Mimi, kekebalan tubuhnya itu terenggut oleh virus-virus layaknya monster-monster kecil yang terus berkembang biak tanpa tampak dan terus menggerogotinya hingga terkuak di stadium tiga.
Dari sebutan ciblek, kupu-kupu malam, dan pelipur di Gang Dolly. Tabungan hasil jerih payah dalam pekerjaan kotornya itu pun ludes hanya untuk mengobati penderitaannya sendiri hingga ajal menjemputnya. Tanpa sanak dan saudara dalam keadaan nista.
Semoga, Allah Ta’ala mencatat segala niat tobat Mimi meski secara fisik dia tak mampu tunduk kepada-Nya di akhir usia. Mimi meninggalkan seorang putra berusia lima tahun. Hasil dari pernikahannya yang kedua. Suaminya lebih dulu meninggal karena narkoba, namun kebesaran Allah menghendaki lain. Putranya negatif dari HIV/AIDS. Anugerah ini pun tak akan cukup diganti dengan sujud kepada-Nya hingga akhir hayat.
Jangan! Jangan pernah banyak bertanya tentang mukjizat Allah lagi, kawan. Karena mukjizat tak akan bisa kita pecahkan dengan penelitian apa pun di kehidupan ini.
“Rie, tiga jam lagi kita berkemas …” Mas Fahri mengagetkanku, “katanya kamu ingin kita naik kapal?” lanjutnya dengan menyenyumiku.
Aku pun membalasnya dengan tersenyum bahagia. Ya, aku akan naik kapal.
*******
Aku merindukan Jalesveva Jayamahe.
Lima belas menit sudah berlalu dari dermaga. Tidak pernah berubah dengan warna kecokelatan dari segara di sana yang terkesan kotor. Patung bagian dari monumen setinggi 30,6 meter itu masih gagah saja memandang lautan tanpa lelah. Mas Fahri, sesekali dia memandangku yang sedang menikmati hembusan angin di batas tepi kekokohan kapal.
“Mimi, selamat tinggal. Hatiku akan selalu menyimpan segala aib kehidupanmu. Sama seperti dalamnya lautan yang akan mengubur apa yang telah kamu abadikan di sini …” ungkapan batinku tanpa bibir seraya aku meremas buku harian setebal dua ratus halaman itu.
“Rie …” tiba-tiba Mas Fahri kembali mengagetkanku dari belakang, “jangan terlalu melihat ke bawah!” seraya menarik lenganku, “kamu kenapa?” tanyanya kembali.
“Aku endak apa-apa, Mas …” jawabku sambil tersenyum.
“Oke! Jangan terlalu ke situ!” ujarnya seraya duduk kembali tak jauh dariku.
Sebelum aku merapat ke dermaga lagi. Ya, sebelum aku merapat ke dermaga lagi. Buku harian itu terhempas ke lautan. Andai bisa berkata, mungkin dia tak ingin aku melemparnya jauh ke dalam sana. Biarlah lautan mengubur segala aib Mimi bersama dingin dan misteri di dalamnya.
“Rie, kamu ingin berkunjung ke monumen dulu?” tanya Mas Fahri kembali mendekatiku.
“Aku ingin pulang, Mas. Aku sudah lelah …” sahutku sembari menatap jauh ke samudera nan seolah membentuk sebuah garis busur.
“Kapan kamu balik ke Bandung?” lanjutnya.
“Insya Allah, sepekan lagi …” jawabku, “Mas Fahri kapan kembali ke Jakarta?” tanyaku kembali.
“Besok! Anakku sudah merengek mencariku …” seraya tertawa kecil, “sampai bertemu kembali…” lanjut menepuk pundakku.
“Sampai bertemu kembali, Mas!” aku meraih tangannya untuk berjabat tangan, “terima kasih menemaniku ke rumah sakit jauh-jauh malam itu.”
“Kamu ini keras kepala. Ya, tapi keras kepalamu lebih banyak hikmah, kok!” sahutnya tersenyum lebar sedikit melirik kepadaku, “aku belum pernah menemui keras kepalamu yang membawa keburukan selama ber-partner denganmu,” seraya mengangguk-angguk membetulkan kacamatanya.
Dan kami sama-sama menikmati samudera tanpa kebiruan di bawah awan-awan yang akan berakhir lima menit lagi sembari saling menyenyumi mendekati dermaga.
*******
“Mas Fahri! Aku langsung naik taksi ke Stasiun Gubeng, yak!” sembari buru-buru mengecek telepon selulerku, “Mas Fahri mau ke mana dulu?” lanjut tanyaku.
“Aku nanti di hotel dulu, Rie. Pesawatku besok jam enam pagi,” jawabnya,
“Sudah! Kamu duluan saja, ketinggalan kereta nanti. Ada Abu juga, aku enggak apa-apa,” seraya memainkan kepalaku layaknya seorang kakak, “ayo, aku antar kamu cari taksi dulu!” sibuk membawakan koperku.
“Mas Fahri …” seraya aku memandangnya sebelum masuk taksi.
“Kenapa? Mau minta maaf lagi? Terima kasih lagi?” seraya tertawa.
“Terima kasih banyak!” jawabku.
“Husss … sudah-sudah, ayo masuk!” kembali memegang kepalaku agar masuk ke dalam taksi, “Husss … sudah bicaranya. Nanti aku telepon. Kabari aku kalau sudah sampai tujuan, oke!” seraya melambaikan tangan, “hati-hati, Pak sopir!” teriak kecilnya ke sopir taksi yang akan mengantarku.
Kurapatkan jemariku di kaca jendela pertanda ‘see you again …’. Pun Mas Fahri di luar sana …
*******
Aku kembali mengecek telepon selulerku dan seketika aku tertawa kecil …
“Pak Bripka, aku endak pakai messenger ………………….” Balasku dalam pesan.
Ya Allah, kenapa ada kerinduan di sini. Aku menikmati keramaian Surabaya saat itu bersama kerinduan. Aku bertanya kepada-Mu tentang kerinduan ini …
Notif itu muncul kembali, “Pak Bripka …” Dia menghadirkan senyuman untukku sekali lagi dari seberang lautan.
Aku pulang …
*******
Kawan, siapa pun orang yang dihadirkan Allah dalam kehidupan kita pasti mempunyai maksud. Kita tidak bisa memilih siapa atau siapa. Orang baik atau orang yang kurang baik, semua punya hikmah sendiri. Namun, tidak ada salahnya kita memohon kepada Allah Azza wa jalla agar kita diberikan lingkungan yang baik, para kawan yang baik, orang yang kita cintai pun baik. Jangan pernah putus asa untuk selalu memanjatkan doa karena Allah sebaik-baik tempat kita berharap besar. Kisah Mimi mengajarkan kepadaku banyak hal. Siapa orang yang tidak jijik melihat pelacur? Bahkan, terkadang kita menjadi korban cacian orang lain hanya karena punya teman seorang pelacur. Kehadiran kita antara satu sama lain adalah selalu saling mengingatkan tanpa pilih kasih. Yang sudah baik kita ingatkan agar tetap baik, pun yang buruk kita ajak untuk baik. Dengan begitu agar kita pun juga ada yang selalu menasihati baik.
“Mari kita menjadi orang yang selalu haus dinasihati, mari kita menjadi orang yang selalu berambisi untuk memperbaiki diri, mari kita menjadi orang yang berani bertanya atas apa kekurangan kita pada orang lain, mari kita menjadi orang yang lurus-lurus saja tanpa menoleh kiri-kanan namun bukan berarti tidak butuh orang lain (bedakan).”
Semoga, tidak akan ada Mimi Mimi dan Mimi Mimi yang lain lagi karena korban keadaan yang bercampur keputusasaan dari si lakon urip. Masih banyak jalan baik jika diniati baik.
“Mari bercita-cita jangan sampai kita jadi cermin pelajaran bagi orang lain karena keburukan dan aib-aib kita. Mari bercita-cita menjadi cermin bagi orang lain karena hal-hal baik yang kita lakukan.”
Latest posts by Arie Pudjiarso (see all)
- Si Penjual Jajanan Enak - January 16, 2018
- Semburat Ungu (Bapak Kedua) - January 13, 2018
- Saya Meninggalkan Facebook, Twitter, dan G+ - October 17, 2017